KITAB SUSUNAN WIRID DAN URAIAN MENGHIDUPKAN MALAM
Yaitu: Kitab Kesepuluh dari “Ihya’-‘ulumi’ddin”. Dan dengan ini selesailah Rubu’-IbadAh—Diberi manfa’at kiranya oleh Allah dengan Kitab ini kepada kaum muslimin!
Kami memuji Allah diatas segala ni’matNya dengan banyak pujian. Kami mengingatiNya (berdzikir kepadaNya) dengan ingatan yang tidak meninggalkan didalam hati kesombongan dan kerenggangan. Dan kami bersyukur kepadaNya, karena Ia telah menjadikan malam dan siang bergantian bagi orang yang bermaksud berdzikir atau bermaksud bersyukur kepadaNya.
Kami mengucapkan selawat kepada NabiNya yang telah diutuskanNya dengan kebenaran, membawa kabar gembira dan peringatan. Dan kepada kaum keluarganya yang suci dan para shahabatnya yang mulia, yang telah bersungguh-sungguh beribadah kepada Allah, siang dan malam, pagi dan petang. Sehingga jadilah masing-masing dahpada mereka itu bintang Agama, menunjukkan jalan dan lampu yang bersinar cemerlang. Adapun kemudian dari itu, maka sesungguhnya Allah Ta’ala telah menjadikan bumi tunduk kepada hamba-hambaNya. Tidak untuk mereka menetap pada segala penjurunya, tetapi untuk mengambilkannya menjadi tempat tinggal. Lalu mengambil perbekalan daripadanya, perbekalan yang membawa mereka dalam perjalanannya ketanah-air. Dan mereka menyimpan daripadanya sebagai pemberian untuk dirinya, yang merupakan amal dan kumia, yang mereka pelihara segala perolehan dan pemberiannya. Dan mereka meyakini, bahwa umur itu berjalan pada mereka, Iaksana kapal berjalan dengan penumpangnya. Sesungguhnya manusia didunia ini adalah berjalan. Tempatnya yang pertama, ialah ayunan dan kesudahannya, ialah liang lahad. Tanah-airnya, ialah sorga atau neraka. Dan umur itu, ialah jaraknya perjalanan. Tahunnya, ialah tempat perhentian. Bulannya, ialah farsach-farsachnya (lebih panyang dari mil). Hari-harinya, ialah mil-milnya. Nafasnya, ialah langkah-langkahnya. Ta’atnya, ialah harta-bendanya. Waktunya, ialah modalnya. Hawa-nafsu dan segala keinginannya, ialah perampok-perampok dalam perjalanannya. Keuntungannya, ialah memperoleh kemenangan dengan menjumpai Allah Ta’ala di Daru’ssalam (Negeri Sejahtera) bersama kerajaan besar dan keni’matan yang berketetapan. Kerugiannya, ialah jauh dari Allah Ta’ala serta kutukan, rantai dan azab pedih, dalam lapisan bawah neraka jahanam.
KITAB SUSUNAN WIRID DAN URAIAN MENGHIDUPKAN MALAM
Yaitu: Kitab Kesepuluh dari “Ihya’-‘ulumi’ddin”. Dan dengan ini selesailah Rubu’-Ibadhh—Diberi manfa’at kiranya oleh Allah dengan Kitab ini kepada kaum muslimin!
Maka orang lalai dalam tiap-tiap nafas dari nafasnya, sehingga ia berlalu, tanpa ta’at yang mendekatkannya kepada Allah, dibawa pada hari kiamat dengankerugian dan penyesalan yang tak ada habisnya. Karena bahaya besar dan bencana yang dahsyat ini, maka terus meneruslah orang-orang yang memperoleh taufik dengan segala kesungguhan, meninggalkan dengan keseluruhan yang mengenakkan bagi diri. Menggunakan segala sisa dari umur dan menyusun menurut waktu yang datang berulang-ulang, segala tugas wirid. Karena ingin menghidupkan malam dan siang, pada mencari kedekatan dengan Maharaja Yang-Maha-perkasa dan berjalan kenegeri ketetapan.
Maka jadilah diantara kepentingan ilmu jalan ke-akhirat, menguraikan penjelasan tentang cara pembahagian wirid dan membagi-bagikan ibadah yang telah berlalu uraiannya, menurut ketentuan waktu. Dan jelaslah kepentingan ini dengan menyebutkan dua bab:
Bab Pertama: tentang keutamaan wirid dan tata tertib pada malam dan siang hari.
Bab Kedua: tentang cara menghidupkan malam dan keutamaannya serta apa yang berhubungan dengan dia.
BAB PERTAMA: tentang keutamaan wirid, tata-tertib dan hukumnya.
Keutamaan wirid dan penjelasan, bahwa rajin mengerjakannya, adalah jalan kepada Allah Ta’ala:
Ketahuilah, bahwa orang-orang yang memperhatikan dengan nur mata-hati, niscaya mengetahui, bahwa tak ada kelepasan, selain pada menjumpai Allah Ta’ala. Dan tak ada jalan untuk menjumpai itu, selain dengan hamba itu mati, dimana ia mencintai dan mengenai Allah s.w.t. Kecintaan dan kejinakan hati itu, tidak akan berhasil, selain dari pada selalu mengingati yang dicintai dan rajin dengan demikian itu. Dan mengenai Allah itu tidak berhasil, selain dengan selalu menumpahkan pikiran kepadaNya, kepada Sifat dan AfalNya (perbuatanNya) . Dan tidak adalah pada Wujud (yang ada ini), selain Allah Ta’ala dan AfalNya. Dan tidak mudahlah selalu mengingati (berdzikir) dan berfikir, kecuali dengan meninggalkan dunia dan segala hawa-nafsunya. Dan mencukupkan sekedar yang sampai dan penting.
Semuanya itu tidak sempurna, kecuali dengan menghabiskan waktu malam dan siang dalam segala tugas dzikir dan fikir. Dan nafsu karena sifat dirinya dengan kemalasan dan kebosanan, lalu tidak sabar diatas suatu bentuk pekerjaan, dari sebab-sebab yang menolong kepada dzikir dan fikir. Tetapi apabila dikembalikan nafsu itu kepada suatu bentuk saja niscaya ia melahirkan kemalasan dan keberatan. Dan sungguh Allah Ta’ala tidak bosan, sehingga mereka itu bosan.
Maka dari pentingnya bersikap lemah-Iembut kepada nafsu itu, adalah memberi kepadanya kesenangan, dengan berpindah dari satu macam kesatu macam dan dari satu bagian kesatu bagian menurut masing-masing waktu, supaya banyaklah kesenangannya dengan perpindahan itu. Dan besarlah keinginannya’ dengan kesenangan tadi dan terus meneruslah kerajinannya dengan kekalnya keinginan itu.
Maka karena itulah wirid itu dibagikan dalam bahagian yang bermacam-macam. Dzikir dan fikir seharusnyalah menghabiskan semua waktu atau bahagian terbesar daripadanya.
Sesungguhnya nafsu itu menurut tabi’atnya, condong kepada kelazatan dunia. Kalau hamba itu menyerahkan separuh waktunya kepada urusan duniawi dan keinginan-keinginannya yang dibolehkan — umpamanya dan separuh lagi kepada ibadah, niscaya beratlah segi kecondongan kepada dunia, karena bersesuaian dengan tabi’at dirinya. Sebab pembahagian waktu tadi itu sama. Lalu keduanya lawan-melawan dan tabi’at dirilah yang menguatkan kepada salah satu daripada keduanya. Karena zahir dan batin tolong-menolong kepada urusan duniawi dan bersihlah hati serta bertindak semata-mata mencari akan duniawi itu.
Adapun kembali kepada ibadah, adalah berat dan tidak sejahteralah ke-ikhlasan dan kehadiran hati kepadanya, selain pada sebahagian waktu saja. Maka orang yang ingin masuk sorga tanpa hisab, hendaklah menghabiskan segala waktunya dalam berbakti (tha’at). Dan barangsiapa bermaksud kuat daun neraca kebaikannya dan timbangan kebajikannya berat, maka hendaklah melengkapkan dalam tha’at, sebahagian besar dari waktunya.
Kalau dicampur-adukkannya akan amal shalih dan yang lain, jahat, maka pekerjaannya itu amat berbahaya. Tetapi harapan tidak putus dan kema-‘afan dari kemurahan Allah dinantikan. Semoga Allah Ta’ala mengampunkannya dengan kemurahan dan kemuliaanNya. Maka inilah yang terbuka bagi orang-orang yang memperhatikan dengan nur mata-hati. Kalau anda bukan ahlinya, maka perhatikanlah kepada Kalam Allah Ta’ala kepada RasulNya dan petikkanlah dengan nur-keimanan. Berfirman Allah Ta’ala kepada hambaNya yang terdekat kepadaNya dan yang tertinggi pada sisiNya:
إِنَّ لَكَ فِي اَلنَّهَارِ سَبْحًا طَوِيلا
وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلا
(Inna’laka ‘finnahaari sabhan thawiilaa. Wadzkurisma rabbika wa tabattal ilaihi tabtiilaa).
Artinya: “Sesungguhnya pada waktu siang, engkau mempunyai urusan yang panjang. Dan sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah kepadaNya dengan sungguh-sungguh!” — S. Al-Muzzammil, ayat 7 dan 8. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan sebutlah nama Tuhanmu pagi dan petang.
Dan disebahagian daripada malam, maka sujudlah kepadaNya dan bertasbihlah kepadaNya dimalam yang panjang! ” فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلا طَوِيلا, Dan sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ بُكْرَةً وَأَصِيلا — S. Ad-Dahr(Al Insaan), ayat 25 dan 26.
Berfirman Allah Ta’ala: وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ “Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam. وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَأَدْبَارَ السُّجُودِ Dan bertasbihlah kepadaNya dalam sebahagian daripada malam dan diakhir-akhir sembahyang”. — S. Qaf, ayat 39 dan 40.
Berfirman Allah s.w.t.: وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَإِدْبَارَ النُّجُوم “Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika engkau bangun pagi. Dan hendaklah engkau bertasbih kepadaNya disebahagian dari malam diwaktu ghaib bintang”. — S. Ath-Thur, ayat 48 – 49.
Berfirman Allah Ta’ala: إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلا”Sesungguhnya (bangun) waktu-waktu malam itu, adalah lebih sangat bekasnya dan lebih teguh bacaannya. — S. Al-Muzzammil, ayat 6.
Berfirman Allah Ta’ala: “Dan berbaktilah disebahagian dari waktu-waktu malam dan dipinggir-pinggir siang, supaya engkau akan rela”. — S. Thaha, ayat 130.
Berfirman Allah ‘Azza wa Jalla: وَأَقِمِ الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ “Dan dirikanlah shalat pada dua bahagian siang dan disebahagian dari malam, karena sesungguhnya kebaikan-kebaikan dapat menghilangkan kejahatan-kejahatan”. — S. Hud, ayat 114.
Kemudian, lihatlah, bagaimana Allah Ta’ala menyifatkan orang-orang yang memperoleh kemenangan dari para hambaNya dan dengan apa la menyifatkan mereka!
Maka berfirman Allah Ta’ala: “Atau adakah orang yang berbakti diwaktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, dalam keadaan takut kepada azab akhirat dan mengharap rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama mereka yang tahu dan mereka yang tidak tahu?” — S. Az-Zumar, ayat 9.
Berfirman Allah Ta’ala: “Rengganglah rusuk – rusuk mereka dari tempat tidur, dimana mereka mendo’a pada Tuhannya, dengan takut dan harapan” — S. As-Sajadah, ayat 16.
Berfirman Allah Azza wa Jalla: “Dan ialah mereka yang bermalam dengan sujud dan berdiri (beribadah) kepada Tuhannya”. — S. AI-Furqan, ayat 64.
Berfirman Allah ‘Azza wa Jalla: “Adalah mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam. Sedang diwaktu akhir-akhir malam (waktu sahur), mereka meminta ampun”. S- Adz-Dzariyat, ayat 17-18. Berfirman Allah ‘Azza wa Jalla:”Maka mahasucilah Allah ketika kamu berpetang dan waktu kamu berpagi”. — S. Ar-Rum, ayat 17.
Berfirman Allah Ta’ala: “Dan janganlah engkau halau orang-orang yang beribadah kepada Tuhannya, pada waktu pagi dan petang yang menghendaki wajahNya”. — S. Al-An’nam, ayat 52.
Itu semuanya, menerangkan kepada anda, bahwa jalan kepada Allah Ta’ala, ialah mengintip waktu dan meramaikannya dengan wirid-wirid secara terus-menerus.
Karena itulah, bersabda Nabiصلى الله عليه وسلم
أحب عباد الله إلى الله الذين يراعون الشمس والقمر والأظلة لذكر الله تعالى
(Ahabbu ibaadillaahi ilallahi lladziina yuraa uunasy-syamsa wal-qamara wal-adhillata lidzikrillaahi ta’aalaa).Artinya: “Hamba Allah yang paling dicintai Allah ialah mereka yang menjaga matahari, bulan dan- bayang-bayang untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala”. (1).
Berfirman Allah Ta’ala: “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungannya”. – S. Ar-Rahman, ayat 5.
Berfirman Allah Ta’ala: “Tidakkah engkau lihat kepada (kekuasaan) Tuhanmu, bagaimana la hamparkan bayang-bayang? Pada hal kalau dikehendakiNya, niscaya dijadikanNya tetap. Kemudian Kami jadikan matahari menjadi penunjuk. Kemudian, Kami tarikkan bayangan itu kepada Kami sedikit-sedikit”. — S. Al-Furqan, ayat 45—46.
Berfirman Allah Ta’ala: “Dan bulan itu. Kami telah tentukan baginya beberapa darajat”. — S. Yasin, ayat 39.
Berfirman Allah Ta’ala: “Dan Dialah yang telah menjadikan bagi kamu beberapa bintang , untuk kamu berpedoman dengan dia didalam kegelapan darat dan laut”. — S. Al-An’am, ayat 97.
Maka janganlah anda menyangka, bahwa yang dimaksud dengan perjalanan matahari dan bulan dengan perhitungan yang teratur, lagi tersusun dan dari kejadian bayang-bayang, nur dan bintang-bintang, untuk memperoleh pertolongan dengan dia dalam segala hal urusan duniawi. Tetapi adalah supaya anda mengetahui dengan itu, batas-batas waktu, lalu anda pergunakan untuk tha’at dan tijarah (perniagaan) bagi negeri akhirat. Dibuktikan kepada anda yang demikian, oleh firman Allah Ta’ala: “Dan Dialah yang menjadikan malam dan siang berganti-ganti,bagi orang yang mau ingat atau mau bersyukur”. – S. Al-Furqan, ayat 62. Artinya: digantikan salah satu dari keduanya oleh yang lain, supaya dapat diperoleh pada salah satu dari keduanya, apa yang tertinggal pada yang lain. Dan diterangkanNya, bahwa yang demikian itu adalah untuk berdzikir (mengingat) dan bersyukur. Tidak untuk yang lain.
Berfirman Allah Ta’ala: “Dan Kami jadikan malam dan siang itu dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang yang terang, untuk kamu mencari kurnia dari Tuhanmu dan supaya kamu tahu bilangan tahun dan perhitungan”. – S. Bani-Israil, ayat 12.
Sesungguhnya keutamaan yang dicari, ialah pahala dan ampunan. Kita bermohon pada Allah akan taufiq yang baik untuk apa yang direlaiNya!
PENJELASAN: bilangan wirid dan susunannya. Ketahuilah, bahwa wirid siang itu tujuh:Diantara terbit cahaya pagi sampai kepada terbit bundaran matahari, satu wirid.Diantara terbit matahari, sampai kepada gelincir matahari (zawal), dua wirid.
Diantara zawal, sampai kepada waktu ‘Ashar, dua wirid.
Dan diantara ‘Ashar, sampai kepada Magrib, dua wirid.
Malam terbagi kepada empat wirid: dua wirid, dari Magrib, sampai
kepada waktu orang tidur. Dan dua wirid lagi, dari tengah malam yang
akhir, sampai kepada terbit fajar.
Maka marilah kami terangkan keutamaan tiap-tiap wirid tadi dan tugasnya serta yang berhubungan dengan dia.
Maka wirid yang pertama: diantara terbit sinar pagi, sampai kepada terbit matahari. Dan itu adalah waktu yang mulia. Dibuktikan kemuliaan dan kelebihannya, oleh sumpahnya Allah dengan dia, karena Ia berfirman: “Demi waktu Subuh, apabila telah terang”. — S. At-Takwir, ayat 18. Dan pujian Allah kepadanya,
Dengan firmanNya:
فَالِقُ الإصْبَاحِ
(Faaliqul-ishbaah).— S. Al-An’am, ayat 96. Artinya: “Dia (Allah) itu Pembelah shubuh”.
Dan firmanNya:
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ
(Qul a’uudzu bira’bbi’I-falaq). S. Al-Falaq,
ayat 1. Artinya: “Aku berlindung dengan Yang Mempunyai cuaca
shubuh”.
Dan dizahirkanNya qudrah dengan menarik bayang-bayang kepadaNya, dengan
firmanNya: “Kemudian, kami tarik dia (bayang-bayang) kepada Kami
sedikit-sedikit”. — S. Al-Furqan, ayat 46. Yaitu: waktu menarik
bayang-bayang malam dengan membentangkan cahaya matahari.
Dan petunjukNya kepada manusia, kepada mengucapkan tasbih kepadaNya, dengan
firmanNya: “Maka mahasucilah Allah ketika kamu berpetang dan waktu kamu
berpagi”. – S. Ar-Rum, ayat 17.
Dan dengan firmanNya: “Bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu sebelum terbit
matahari dan sebelum terbenamnya”. — S. Thaha, ayat 130,
Dan firmanNya ‘Azza wa Jalla: “Dan bertasbihlah disebahagian dari
waktu-waktu malam dan dipinggir-pinggir siang, supaya engkau akan rela”. –
S. Thaha, ayat 130.
Dan firmanNya Ta’ala: “Dan sebutlah nama Tuhanmu, pagi dan petang!” –
S. Ad-Dahr ayat 25 Adapun tata tcrtibnya, maka hendaklah diambil waktunya dari
waktu terbangun dari tidur. Apabila sudah bangun, maka sewajarnyalah memulai
dengan dzikir kepada Allah Ta’ala, dengan membaca: “Segala pujian bagi
Allah yang menghidupkan kita setelah dimatikanNya kita dan kepadaNya-lah
dibangkitkan-sampai kepada penghabisan do’a dan ayat-ayat yang telah kami sebutkan,
pada do’a bangun daripada tidur dari Kitab Do’a. Dan hendaklah memakai pakaian
waktu berdo’a dan berniat dengan BERNIAT pakaian itu menutup auratnya.
Karena, mengikut perintah Allah Ta’ala dan meminta pertolongan padaNya kepada beribadah. tanpa maksud memperlihatkan orang (riya) dan menonjolkan diri. Kemudian menutup ketempat membuang air (kakus), bila ia memerlukan kepadanya. Dan pertama-tama memasukkan kakinya yang kiri dan mendo’a dengan do’a-do’a yang ‘telah kami sebutkan pada Kitab Bersuci, ketika masuk dan keluar dari kakus. Kemudian bersugi selaku amal sunat, sebagaimana telah diterangkan dahulu. Dan berwudlu’ dengan menjaga segala sunat dan do’a yang telah kami sebutkan pada bersuci dahulu. Sesungguhnya telah kami kemukakan dahulu satu-persatu dari ibadah, adalah supaya Kami scbukan pada Kitab ini cara susunan dan taiatertib-nya saja.
Apabila selesai dari wudu Iain rnengerjakan solat dua raka’at fajar yakni solat sunat ditempatnya sendiri , Begitulah di kerjakan oleh Rasulullah (1)
Dan sesudah dua rakaat itu, sama sahaja dua rakaat itu dikerjakan di rumah atau di masjid lalu membeca doa yang diriwayatkan Ibnu Abbas r.a.. yaitu. “Wahai Allah Tuhanku! Sesungguhnya aku bermohon padaMu rahmat daripada sisimu. Engkau beri petunjuk dengan rahmat itu akan hatiku…..” Sampai kepada penghabisan doa seperti yang disebutkan dahulu.
Kemudian Keluar dari rumah menuju mesjid dan jangan dilupakan do’a keluar masjid. Dan tidak berjalan kepada solat itu dengan berlari tergesa gesa tetapi berjalan dengan tenang dan khidmat sebagaimana yang tersebut dalam hadis(2).
Dan tidak membuat jari jari tangannya sebagai jerjak, Dan masukilah masjid mendahulukan kakinya yang kanan dan mendo’a dengan do’a yang diperolihi para sahabat dan salaf untuk masuk masjid.
Kemudian carilah di mesjid itu barisan pertama (saf pertama)
kalau ada yang terhalang dan tidaklah melangkahi bahu orang lain dan desak-mendesak sebagaimana telah diterangkan dahulu pada kitab jumaat.
Kemudian mengerjakan shalat dua raka’at fajar (sunat Shubuh), kalau belum dikerjakan dirumah. Kemudian membaca do’a yang telah tersebut dahulu, sesudahnya, Dan kalau telah dikerjakan dua raka’at fajardirumah, nescaya dikerjakan dua raka’at shalat tahiyyah-masjid, kemudian duduk menunggu jamaah. Dan lebih disunatkan melakukan shalat subuh itu di waktu msasih gelap di akhir malam Nabi s,a.w. melakukan shalat Shubuh diwaktu masih gelap pagi (3)
1.Mengenai solat dua rakaat fajar (subuh) , Dirawikan Bukhari dan muslim dari hafshah. 2.Tentang ini dirawikan Bukhari dan muslim dari Abu Hurairah 3.Tentang ini dirawikan bukhari dan muslim dari Aishah. |
Dan tiada seyogialah meninggalkan berjama’ah pada shalat umumnya dan pada Shalat Shubuh dan Shalat ‘Isya’ pada khususnya. Karena keduanya mempunyai kelebihan yang utama. Diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a. daripada Rasulu’llah صلى الله عليه وسلم bahwa Nabiصلى الله عليه وسلم bersabda mengenai Shalat Shubuh: “Barangsiapa berwudlu’, kemudian menuju masjid untjk melakukan shalat padanya, niscaya baginya satu kebaikan dengan tiap-tiap langkahnya dan dihapuskan satu kejahatan daripadanya. Dan kebaikan itu balasannya sepuluh kali. Maka apabila telah mengerjakan shalat, kemudian meninggalkan tempat itu, ketika terbit matahari, niscaya dituliskan baginya, tiap-tiap sehelai bulu pada badannya, suatu kebaikan. Dan itu bertukar dengan suatu hajji yang penuh dengan kebajikan. Kalau ia duduk, sehingga ia mengerjakan shalat Dluha, niscaya dituliskan baginya, tiap-tiap raka’at sejuta kebaikan. Dan barangsiapa mengerjakan shalat pada waktu pertiga pertama dari malam (waktu al-‘ata-mah), maka baginya pahala seperti itu juga dan bertukarlah itu dengan satu ‘umrah yang penuh dengan kebajikan” (1).
Adalah diantara kebiasaan ulama terdahulu (salaf), masuk masjid sebelum terbit fajar. Berkata seorang dari golongan tabi’in (angkatan sesudah shahabat atau pengikut shahabat Nabi صلى الله عليه وسلم “Aku masuk masjid sebelum terbit fajar, maka aku jumpai Abu Hurairah telah mendahului aku, seraya beliay berkata kepadaku: “Wahai anak saudaraku! Untuk apa engkau keluar dari rumahmu pada sa’at ini?” Maka aku menjawab: “Untuk shalat pagi!”
Lalu beliau berkata: “Bergetnbiralah! Sesungguhnya kami menghitung keluar kami dan duduk kami dimasjid pada sa’at ini, adalah sebagai pepe-rangan pada jalan Allah Ta’ala (perang sabil)”. Atau beliau mengatakan: “berperang bersama Rasulu’llah.”.صلى الله عليه وسلم
Dari Ali r.a. diriwayatkan, bahwa Nabi صلى
الله عليه وسلم mengetok pintu rumahnya, dimana ia dan Fathimah r.a.
sedang tidur, seraya bersabda: “Apakah kamu berdua ini tidak shalai?”
Berkata Ali r.a.: “Lalu aku menjawab: “Wahai Rasulu’llah! Sesungguhnya diri kami ditangan Allah Ta’ala. Apabila dikehendakiNya memba-ngunkan kami, niscaya dibangunkanNya”. Maka pergilah Nabi صلى الله عليه وسلم dan aku mendengar sedang beliau pergi itu, memukul pahanya dan bersabda:
وكان الإنسان أكثر شيء جدلا
(Wa kaanal-insaanu aktsa-ra syai-in jadalaa). Artinya: “Adalah manusia itu lebih banyak bertengkar”.
Kemudian, seyogialah sesudah dua raka’at fajar dan do’anya, membaca istighfar dan tasbih, sampai kepada waktu mendirikan shalat. Yaitu membaca:
أستغفر الله الذي لا إله إلا هو الحي القيوم وأتوب إليه
(Astaghfiru’llaaha’lladziilaa ilaaha i’llaa huwa’l-ha’yyul-qa’y-yuumu wa atuubu ilaih) tujuhpuluh kali. Artinya: “Aku meminta ampun pada Allah yang tiada disembah, selain Dia, yang Hidup, yang Berdiri dengan sendiriNya dan aku bertobat kepa’daNya”. Dan membaca:
سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر
(Subhaana’llaah, wa’l-hamduli’llaah ,wa laa ilaaha i’lla’liaah, wa ‘llaahu akbar) – seratus kali. Artinya: “Mahasuci Allah, segala pujian bagi Allah tiada yang disembah,selain Allah dan Allah itu Mahabesar”. Kemudian, mengerjakan shalat fardlu, dengan menjaga segala apa yang yang telah kami bentangkan dahulu, dari segala adab batin dan adab zahir dalam shalat dan berimam.
Apabila telah selesai dari shalat fardlu itu, lalu duduklah dalam masjid sampai terbit matahari, berdzikir kepada Allah Ta’ala, sebagaimana akan kami susun nanti. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم “Sesungguhnya aku duduk pada tempat dudukku, berdzikir kepada Allah Ta’ala padanya, dari shalat pagi (shalat Shubuh) sampai terbit matahari, adalah lebih aku sukai daripada memerdekakan empat orang budak belian” (1).
Diriwayatkan, bahwa: “Nabiصلى الله عليه وسلم apabila telah mengerjakan shalat Shubuh, lalu duduk pada tempat shalatnya, sehingga terbitlah matahari” -dan pada setengah riwayat: “beliau mengerjakan shalat dua raka’at” -yakni: “setelah terbit matahari. Dan tersebutlah keutamaan yang demikian, yang tidak terhinggakan. (2).
Dan diriwayatkan oleh Al-Hasan: “Bahwa Rasulu’llahصلى الله عليه وسلمmenyebutkan sebahagian dari rahmat Tuhannya, dengan sabdanya: “Bahwa Tuhan berfirman: “Wahai anak Adam! Berzikiriah kepadaKu sesudah shalat Fajar barang sesa’at dan sesudah shalat ‘Ashar barang sesa’at, niscaya Aku cukupkan bagi engkauapa yang ada diantara keduanya”. (3). Apabila telah nyata keutamaan yang demikian, maka hendaklah duduk dan tidak bercakap-cakap sampai terbit matahari. Tetapi sebaiknyalah pekerjaannya sampai kepada terbit matahari itu, empat macam: do’a dan dzikir dengan diulang-ulanginya pada buah tasbih, membaca Al-Qur’an dan tafakkur.
Adapun do’a, maka setiap kali selesai dari shalat, hendaklah dimulai dan dibaca:
اللهم صلى على محمد وعلى آل محمد وسلم اللهم أنت السلام ومنك السلام وإليك يعود السلام حينا ربنا بالسلام وأدخلنا دار السلام تباركت يا ذا الجلال والإكرام أنت السلام ومنك السلام وإليك يعود السلام حينا ربنا بالسلام وأدخلنا دار السلام تباركت يا ذا الجلال والإكرام
(Allaahu’mma shal’lli ‘alaa Muhammad, wa ‘alaa aa-li Muhammad, wa sa’llim. Allaahu’mma anta’ssalaam wa minka’ssalaam , wa ilaika ya’uudu’ssalam, ha’yyinaa ra’bbanaa bi’ssalaam ,wa adkhilnaa daara’ssa-laam ta-baa-rakta jaa dzaljalaali wa’I-ikraam).Artinya: “Wahai Allah Tuhanku! Berilah rahmat dan kesejahteraan kepada Muhammad dan keluarganya! Wahai Allah Tuhanku! Engkau kesejahteraan, dari Engkau kesejahteraan, kepada Engkau kembali kesejahteraan! Hidupkanlah kami, wahai Tuhan kami dengan kesejahteraan! Masukkanlah kami kenegeri kesejahteraan, maha barakah Engkau, wahai Yang Mempunyai keagungan dan kemuliaan!”. Kemudian, memulai do’a dengan apa yang dimulai oleh Rasulu’llah صلى الله عليه وسلم., yaitu do’anya: “Mahasuci Tuhanku, yang tinggi maha-tinggi, yang maha memberi! Tiada yang disembah,selain Allah Yang Mahaesa, tiada sekutu bagiNya. BagiNya kerajaan dan bagiNya segala pujian. Ia yang menghidupkan dan yang mematikan. Dialah yang hidup, yang tidak mati. DitanganNya kebajikan dan Dia mahaberkuasa atas tiap-tiap sesuatu. Tiada yang disembah, selain Allah, yang mempunyai nikmat, keutamaan dan pujian yang baik. Tiada yang disembah selain Allah dan tiada kami menyembah, selain Dia, dimana kami mengikhlaskan agama bagiNya, walaupun benci orang-orang yang kafir”.
Kemudian, memulai dengan do’a-do’a yang telah kami bentangkan pada Bab Ketiga dan Keempat dari Kitab Do’a. Maka berdo’alah derigan semuanya itu, kalau sanggup. Atau dihafal dari keseluruhannya apa yang dipandang sesuai dengan keadaannya, yang lebih menghaluskan bagi jiwanya dan lebih meringankan pada lidahnya.
Adapun dzikir yang berulang-ulang, maka yaitu: kalimat-kalimat yang mempunyai keutamaan dan kelebihan pada mengulang-ulanginya, dimana kami tidak membentangkannya secara panjang. Dan sekurang-kurangnya dari apa yang seyogianya, ialah diulangi tiap-tiap daripadanya tigakali atau tujuh kali. Dan sebanyak-banyaknya, seratus kali atau tujuhpuluh kali dan yang sedang, ialah sepuluh kali.Maka hendaklah diulang-ulanginya itu, menurut kelapangan dan keluasan waktunya. Kelebihan yang banyak, adalah lebih banyak. Dan yang sedang, lagi sederhana, ialah diulang-ulanginya sepuluh kali. Maka itulah yang lebih layak untuk selalu dilaksanakan. Dan pekerjaan yang lebih baik, ialah yang sefalu dikenakan,walaupun sedikit. Tiap-tiap pekerjaan, adalah tidak mungkin diteruskan selalu dengan banyak. Maka sedikitnya secara terus-menerus, adabh lebih utama dan lebih mempengaruhi hati daripada banyaknya serta putus-putus.
Yang sedikit terus menerus itu, adalah seumpama titik-titik air yang menitik keatas bumi dengan terus-menerus berikutan, maka dapatlah mendatangkan suatu lobang kecil pada bumi. Dan juga kalau titik-titik air itu jatuh keatas batu. Dan air yang banyak yang berpisah-pisah, bila tercurah satu kali atau beberapa kali yang berpisah-pisah dalam waktu yang berjauhan, rnaka tidaklah menimbulkan bekas yang nyata. Kalimat-kalimatr itu adalah sepuluh:
Pertama:لا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد يحيي ويميت وهو حي لا يموت بيده الخير وهو على كل شيء قدير membaca “Laa ilaha i’ila’llaahu wahdahu laa syariika lah, la-hu’lmulku wa lahu’Ihamdu yuhyii wa yumiitu wa hua ha’yyun laa yamuut, wa hua ‘alaa ku’lli syai-in qadiir”.Artinya: “Tiada yang disembah, selain Allah yang mahaesa, tiada sekutu bagiNya. BagiNya kerajaan dan. bagiNya segaia pujian. Ia yang menghidupkan dan yang mematikan. Dia yang Hidup, tiada mati. DitanganNya kebajikan. Dan Dia maha kuasa atas tiap-tiap sesuatu”.
Kedua: membacaالثانية قوله سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا باللهالعلي العظيم “Subhanallaah, Wa’l-hamdu li’llah, wa laa ilaaha i’lla’liaah, wa’llaahu akbar, wa laa haula wa laa qu’wwata i’llaa bi’llaahi’l-‘aii’yyrj-‘adhiim”. Artinya:”Mahasuci Allah, segala pujian bagi Allah, tiada yang disembah selain Ailah dan Allah itu mahabesar. Tiada daya dan tiada upaya, melainkan dengan Allah yang mahatinggi dan maha agung
Ketiga: membaca; سبوح قدوس رب الملائكة والروح Su’bbuuhun qu’dduusun ra’bbu’l-rnalaaikati wa’r ruuh”. Artinya: “Allah mahasuci, mahaqudus, Tuhan bagi segala malaikat dan nyawa’.
Keempat: membaca قوله سبحان الله العظيم وبحمده “Subhana’llahi-‘adhiimi wa bihamdih”. Artinya: “Mahasuci Allah yang mahaagung dan dengan pujian kepadaNya”.
Kelima: membaca أ ستغفر الله الذي لا إله إلا هو الحي القيوم وأسأله التوبة “Astaghfiru’llaahal-adhiima’lladzi liaa ilaaha illaa hua ‘l-hayul-qai’yyuumu wa as-lauhu’ttaubah”. Artinya:”Aku meminta ampun pada Allah yang mahaagung yang dada cbsembah, selain Dia, yang hidup, yang berdiri sendiri dan aku bermohon padaNya akan taubat”.
Keenam: membaca اللهم لا مانع لما أعطيت ولا معطي لما منعت ولا ينفع ذا الجد منك الجد”Allaahu’mma laamaani’a limaa a’thaita, wa laa mu’thia limaa mana ta, wa laa yanfa’u dza’l-jaddi minkal’-jadd”. Artinya: “Wahai Allah Tuhanku! Tiada yang melarang akan apa yang Engkau berikan, tiada yang memberi akan apa yang Engkau iarang. Dan tiada bermanfa’at akan orang yang mempunyai kesungguhan daripada Engkau oleh kesungguhan nya”.
Ketujuh: membaca لا إله إلا الله الملك الحق المبين “Laa iiaaha i’lla llahu’l-maliku’l-ha’qqu’I-mubiin”. Artinya: “Tiada yang disembah, selain Allah, yang memiliki, yang maha-benar, yang maha menjelaskan segala sesuatu”.
Kedelapan: membaca بسم الله الذي لا يضر مع اسمه شيء في الأرض ولا في السماء وهو السميع العليم “Bisrm’liaahniadzii iaa yadlu’rru ma’a’smihi syai-un fil-ardll, wa laa fi’ssamaa-i wa hua’ssamii’ul-‘alim”. Artinya: “Dengan nama Allah yang tiada memberi kemelaratan sesuatu serta namaNya, dibami dan dilangit. Dan Dia maha mendengar, lagi maha mengetahuii.
Kesembilan: membaca اللهم صل على محمد عبدك ونبيك ورسولك النبي الأمي وعلى آله وصحبه وسلم “Allaahu’mma sha’lli ‘alaa Muhammad, ‘abdika wa nabi’yyika wa rasuulika’nnahi’yyi’l-ummi’yyi wa ‘alaa aa-lihi wa shah-bihi wa sa’llim”. Artinya:”Wahai Allah Tuhanku! Anugerahilah rahmat dan kesejahteraan kepada Muhammad, hambaMu, NabiMu dan RasulMu, Nabi yang ummi (tak tahu tulis-baca), kepada kaum keluarganya dan sha-habat-shahabat-nya”.
Kesepuluh: membac aأعوذ بالله السميع العليم من الشيطان الرجيم رب أعوذ بك من همزات الشياطين وأعوذ بك رب أن يحضرون “A’uudzu bi’llaahi-ssamii’ii-‘aliim, mina’sy-syai-thaani’rrajiim. Rabbi! A’uudzu bika man hamaazaati-sy-syayaarhiin. Wa a’uu-dzu bika Rabbi an yahduruun”.Artinya: “Aku berlindung dengan Allah yang maha mendengar. lagi maha mengetahui daripada setan yang terkutuk. Wahai Tuhanku! Aku berlindung deriigan Engkau dari gangguan-gangguan setan. Dan aku berlindung dengan Engkau, wahai Tuhanku, daripada setan-setan itu datang kepadaku”.
Maka sepuluh inilah ka!imat-kaiimat apabila diulang-ulangi tiap-tiap kalimat sepuluh kali, maka jadilah seratus kali Maka itu adalah lebih utama (afdlal) daripada mengulang-ulangi suatu dzikir seratus kali. Karena tiap-tiap kalimat dari kalimat-kaiimat tersebut, mempunyai kelebihan atas dayanya. Dan bagi hati dengan tiap-tiap kalimat itu, mempunyai semacam kesadaran dan kelazatan. Dan bagi jiwa, dalam berpindah dan kalimat ke-kalimat mempunyai semacam ketenangan dan keamanan dari kemalasan. Adapun membaca, maka disunatkan membaca sejumlah ayat-ayatyang dibentangkan oleh hadits-hadits dengan keutamaannya. Yaitu: membaca surat “Alhamduli’llah” (surat Al-fatihah), Ayatالكرسي Al-Kursiy dan penghabisan dari surat’ “Al-Baqarah”, dari firmannya: ””aa-mana’r-ra-suul”. Dan “Syajhida’llaahu” dan “Quli’llaahumma maalika’l-mulki”, sampai habis kedua ayat ini. Dan firmanNya: لقد جاءكم رسول من أنفسكم “Laqad jaa-akum rasjulun min ar-fusikum” sampai akhirnya.Dan firmanNya: “Laqad shadaca’ilaabu rasuulahu’rru’ya bil-haq’ sampai akhirnya – S. Al-Fath, ayat 21, Dan firmanNya- الحمد لله الذي لم يتخذ ولدا “Alhamdu lillaahilladzii lam ya’ttakhidz wyladan’ sampai akhirnya – S. Bani Israil (S. isra), ayat 111. Dan lima ayat dari permulaan S. Al-Hadid dan tiga awal dari penghabisan S. Al-Hasyr.
Dan kalau dibaca “tujuh-tujuh kali dari bacaan yang sepuluh” itu (المسبعات العشر al-mu-sa’bba’ati’l-‘asyr), yang telah dihadiahkan oleh Nabi Khidir a.s. kepada ibrahim Al-Taimi r.a. dan diwasiatkannya supaya dibaca pagi dan petang, maka sesungguhnya telah sempurnalah keutamaan.
Dan yang demikian itu telah mengumpulkan baginya keutaraaan keseluruhan do’a-do’a yang tersebut dahulu.Sesungguhnya diriwayatkan dari Karaz bin Wabrah r.a. dan Karaz ini termasuk al-abdaal (1). dimana ia menerangkan: “Telah datang kepadaku seorang saudaraku dari penduduk negeri Syam (Syria). Lalu dihadiahkannya kepadaku suatu hadiah, seraya berkata: “Wahai Karaz, terimalah dariku hadiah ini! Karena ia adalah hadiah yang sebaik-baiknya”.Lalu aku bertanya: “Wahai saudaraku! Siapakah yang menghadiahkan kepadamu hadiah tersebut?”Maka ia menjawab: “Diberikan hadiah ini kepadaku oleh Ibrahim At-Ta imi!”
Lalu aku bertanya: “Apakah tidak engkau tanyakan pada Ibrahim, siapakah yang memberikan hadiah itu kepadanya?”
Menjawab saudara itu: “Ada! Lalu Ibrahim menerangkan: “Adalah aku duduk dihalaman Ka’bah, dimana aku sedang bertahlil, bertasbih, bertah-mid dan bertamjid (membaca: سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر subhaanallaah, wa’l-hamduli’l-laah wa laa ilaaha i’lla’liaah wa’llaahu akbar), maka datanglah seorang laki-laki, memberi salam kepadaku dan duduk dikananku. Belum pernah aku melihat pada masaku, orang yang secantik itu mukanya, yang sebagus itu pakaian-nya. yang lebih putih warnanya dan lebih wangi baunya dari orang itu. Lalu aku bertanya: “Wahai hamba Allah! “Siapakah anda? Darimanakah anda datang?”
Maka ia menjawab: “Aku adalah Khidir!” Lalu aku bertanya: “Apakah maksudnya anda datang padaku!” Menjawab Khidir: “Aku datang kepadamu untuk memberi salam dan karena cinta kepadamu pada jalan Allah. Dan padaku ada suatu hadiah, yang ingin aku hadiahkan kepadamu!” Maka aku bertanya: “Apakah hadiah itu?”
Ia menjawab: “Bahwa engkau baca sebelum terbit matahari dan sebelum terbentangnya diatas bumi dan sebelum ia terbenam: surat الحمد AI-Hamd, Qul a’uudzu bi ra’bbinnaas, قل أعوذ برب الفلق Qul a uudzu bi ra’bbiI-falaq, قل هو الله أحد Qulhua’llaa-hu ahad, قل يا أيها الكافرون Qul yaa a’yyuha’l-kaafiruun dan ayat آية الكرسي Al-Kursiyy. Masing-masing daripadanya tujuh kali. Dan engkau baca: سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر “Subhaana’llaah, wa’l-ham-duli’llaah, wa laa ilaaha i’lla’liaah, wa’llaahu akbar” tujuh kali. Dan berselawat kepada Nabi صلى الله عليه وسلم. tujuh kali. Meminta ampun (membaca istiqhfar) bagi dirimu sendiri, bagi ibu-bapamu, bagi orang mu’min laki-laki dan perempuan tujuh kali. Membaca: اللهم افعل بي وبهم عاجلا وآجلا في الدين والدنيا والآخرة ما أنت له أهل ولا تفعل بنا يا مولانا ما نحن له أهل إنك غفور حليم جواد كريم رءوف رحيم”Allaahu’mma’f-‘al bii wa bi-him aajilan wa aa-jilan frddiini wa’ddun-ya wa’l-aakhirah, maa anta lahuu ahlun. Wa laa tafal binaa yaa Maulaanaa maa nahnu lahu aahlun, in-naka ghafuurun haliimun, ja’wwaadun kariimun ra-uufu’r-rahiim” tujuh kali. Artinya:”Wahai Allah Tuhanku! Buatlah bagiku dan bagi mereka, dengan cepat dan lambat, mengenai agama, dunia dan akhirat, akan apa yang Engkau punyai baginya! Dan janganlah Engkau buat kepada kami,wahai yang kami junjung, akan apa yang kami punyai baginya sesunguhnya Engkau maha pengampun, mahapenyantun, mahapemur mulia, mahapengasih, lagi maha penyayang”.Perhatikanlah, bahwa anda tidak meninggalkan yang demikian itu pagi dan petang!”
Maka aku berkata: “Aku ingin, engkau menerangkan kepadaku, siapakah gerangan yang memberikan kepadamu akan pemberian yang agung ini?” Lalu ia menjawab: “Diberikan kepadaku oleh Muhammad صلى الله عليه وسلم Maka aku menyambung: ‘Terangkanlah kepadaku pahalanya!” Ia menjawab: “Apabila anda menjumpai Muhammad صلى الله عليه وسلم maka tanyalah kepadanya tentang pahalanya! Dia akan menerangkan kepadamu yang demikian itu”.
Lalu Ibrahim At-Taimi menerangkan, bahwa pada suatu hari ia bermimpi, seolah-olah malaikat datang kepadanya, lalu membawanya, sehingga dia dimasukkan kedalam sorga. Maka ia melihat apa yang ada dalam sorga itu. Dan disifatkannya hal-hal yang agung daripada apa yang dilihatnya didalam sorga.
Berkata Ibrahim At-Taimi: “Lalu aku bertanya kepada malaikat itu, dengan mengatakan: “Untuk siapakah ini?”Lalu malaikat itu menjawab: “Untuk orang yang mengerjakan amal, seperti amalmu!”
Disebutkan oleh Ibrahim At-Taimi, bahwa ia makan dari buah-buahan sorga dan para malaikat menyuguhkan kepadanya minuman sorga. Berkata Ibrahim seterusnya: “Maka datanglah kepadaku Nabiصلى الله عليه وسلم dan bersamanya tujuhpuluh orang nabi dan tujuhpuluh baris (shaf) malaikat. Tiap-tiap baris, seumpama antara masyriq dan maghrib (antara tempat matahari terbit dan tempat matahari terbenam). Nabi صلى الله عليه وسلم memberi salam kepadaku dan memegang tanganku. Lalu aku berkata: “Wahai Rasulu’llah! Nabi Khidir menerangkan kepadaku, bahwa ia mendengar daripadamu akan perkabaran ini”. Maka menjawab Nabi صلى الله عليه وسلم “Benar Khidir! Benar Khidir! Dan tiap-tiap apa yang diceriterakannya, adalah benar. Dia adalah orang yang berilmu dari penduduk bumi, kepala al-abdal dan dia dari tentera Allah Ta’ala dibumi”.
Maka aku bertanya: “Wahai Rasulu’llah! Barangsiapa mengerjakan ini atau mengamalkan nya dan ia tidak bermimpi seperti yang saya mimpikan didalam tidur saya, adakah ia diberikan sesuatu daripada apa yang diberikan kepada saya?”
Menjawab Nabi صلى الله عليه وسلم “Demi Allah, yang mengutus aku dengan sebenarnya menjadi nabi! Sesungguhnya orang yang beramal akan diberikan itu, walaupun ia tidak bermimpi, berjumpa dengan aku dan tidak bermimpi melihat sorga. Sesungguhnya diberikan kepadanya ampunan dari segala dosa besar, yang telah diperbuatnya. Dihilangkan oleh Allah daripadanya kemarahan dan kutukanNya. Dan disuruh oleh Allah akan malaikat yang menjaganya disebelah kiri, supaya tidak menuliskan satupun dari kesalahannya dari perbuat an-perbuatan jahat, sampai setahun lamanya. Demi Allah yang mengutus aku dengan sebenarnya menjadi nab:! Tidaklah mengerjakan dengan amalan ini, kecuaii orang yang telah dijadikan oleh Allah berbahagia. Dan tidak meninggalkan amalan ini, kecuali orang yang telah dijadikan oleh Allah celaka!’.
Adalah Ibrahim At-Tairo selama empat bulan tidak makan dan tidak minum, Dan Itu adalah sesudah ta bermimpi dengan mimpi tadi Maka inilah pekerjaan membaca! Kalau ditambahkannya kepada yang tadi, sesuatu daripada yang sampai kepadanya, wiridnya dari Al-Qur’an atau dipendek-kannya kepada yang wirid itu saja, adalah baik. Karena Al-Qur’an meng-himpunkan keutamaan dzikir, fikir dan do’a, manakala disertakan pemaharnan. Sebagaimana telah kami sebutkan keutamaan dan adabnya pada Bab tilawah Al-Qur’an dahulu.
Adapun fikir (tafakkur), maka hendaklah menjadi salah satu tugasnya. Dan akan datang uraian, apa yang dirai’akkurkan itu dan caranya, pada Kitab Tafakkur dari “Rubi:’ Yang Melepaskan” (Rubu’Al-Muniiat). Tetapi kumpulannya kembali kepada dua bahagian:
Pertama: bertafakkur”tentang yang bermanfaat dari Ilmu Mu’aniaiah, dengan menghisab diri (memperhitungkan segala perbuatan diri sendiri), pada masa yang lampau, dari keteledorannya. Menyusun segala tugasnya pada ban yang berada dihadapannya. Mengatur tentang menolak segala yang memalingkan dan yang mencegah, yang menghabiskan waktunya, daripada berbuat kebajikan. Mengingati keteledorannya dan yang mendatangkan kepadanya kekecewaan dari segala perbuatannya, untuk diperbaikinya. Menghadirkan kedalam hatinya, niat-niat yang baik dari segala perbuatan. pada dirinya sendiri dan dalam pergaulannya dengan kaum muslimin.
Kedua. bertafakkur pada yang bermanfa’at dalam ilmu-Mukasyafah. Yaitu., dengan bertafakkur, sekali pada segala nikmat Allah Ta’ala dan berturut-turut nikmatNya, yang dhahir dan yang batin supaya bertambahlah pengenaiannya (ma’rifatnya) dengan ni’mat itu. Dan membanyakkan kesyukuran nya. kepada nikmat. Atau bertafakkur tentang siksa 4an azab-Nya, supaya bertambahlah ma’rifatnya dengan qudrah Ilahi dan istighna’-Nya (Istighna’Nya yaitu: Tuhan tidak memerlukan sesuatu dari njachluq). Dan bertambahlah takutnya kepada siksa dan azab itu. Masing-masing dari hal-keadaan tersebut, mempunyai banyak cabang, yang meluas tafakkur padanya dari sebahagian machluk dan tidaknya dari sebahagian yang lain. Dan itu akan kami tinjau secara mendalam pada Kitab Tafakkur.
Manakala mudah melaksanakan tafakkur itu, maka itu adalahibadah yang termulia. Karena mengandung pengertian, mengingati Allah Ta’ala (berdzikir kepadaNya) dan menambahkan dua hal:
Pertama: menambahkan ma’rifat, karena berfikir itu, kunci ma’rifat dan kasyaf (terbuka yang terdinding).
Kedua: menambahkan kecintaan, karena hati tidak mencintai, kecuali orang yang ditekadkan mengagungkannya. Dan tidaklah terbuka (inkisyaf) keagungan dan kebesaran Allah s.w.t., selain dengan mengenai sifat, qudrah dan keajaiban afalNya.Maka dari berfikir datanglah ma’rifah dan dari ma’rifah, datanglah pengagungan. Dan dari pengagungan, datanglah kecintaan. Dan juga, dzikir itu mempusakai kejinakan hati. Dan kejinakan hati itu, adalah semacam kecintaan. Tetapi kecintaan, yang sebabnya dari pengenalan (ma’rifah), adalah lebih teguh, tetap dan agung. Bandingan kecintaan orang yang mengenai (al-arif atau yang berma’rifah), dengan kejinakan hati orang yang mengingati (yang berdzikir), tanpa kesempurnaan memandang dan memperhatikan, adalah seperti bandingan ‘asyiknya orang yang menyaksikan kecantikan seseorang dengan mata sendiri dan melihat kebagusan tingkah-laku., perbuatan, keutamaan dan hal-ikhwalnya yang terpuji dengan dicoba, dibandingkan kepada kejinakan hati orang yang berulang kali mendengar sifat seseorang yang jauh dari matanya, dengan kebagusan bentuk dan tingkah-lakunya secara mutlak, tanpa araian segi-segi kebagusan bentuk dan tingkah-lakunya itu. Maka tidaklah kecintaan orang yang mendengar itu, seperti kecintaan orang yang melihatnya. Dan tidaklah berita itu, seperti dilihat sendiri. Para hamba Allah (al-ibad) yang rajin mengingati Allah dengan hati dan lisan, yang membenarkan apa yang dibawa oleh para rasul, dengan keimanan secara taqlid, maka tidakiah bersama mereka dari kebagusan segala sifat Allah Ta’ala, melainkan segala hal yang cantik yang diyakininya, dengan membenarkan orang yang menyifatkan sifat-sifat Allah itu kepada mereka.
Orang yang berma’rifat (al-‘arifun), ialah mereka yang menyaksikan keagungan dan kecantikan itu, dengan mata-hati kebathinan (‘aini’lbashirah al-baihinah), yang lebih kokoh kuat dari padang an dhahir. Karena tiada seorangpun sanggup mengetahui penghabisan keagungan dan kecantikan Allah. Yang demikian itu, tidak disanggupi oleh seorangpun daripada makhluk. Tetapi masing-masing orang dapat menyaksikan, sekedar terang-kat baginya hijab. Dan tak ada kesudahan (la nihajah) bagi kecantikan Hadlirat Ketuhanan dan bagi hijabNya. Dan sesungguhnya, bilangan hijabnya, yang berhak dinamakan Nur dan kadang-kadang disangka oleh orang sampai kepadanya, bahwa telah sempurnalah sampainya kepada asal, adalah tujuhpuluh hijab. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم “Sesungguhnya Allah mempunyai tujuhpuluh hijab dari Nur. Kalau dibukaNya, niscaya terbakarlah akan apa yang didapati basharNya oleh kemahasucian wajahNya”. (1).
Dan hijab itu pula menurut susunannya. Dan nur-nur itu, berlebih-kurang tingkatannya, sebagaimana berlebihkurangnya matahari, bulan dan bintang-bintang. Dan nyatalah pada permulaannya, yang lebih kecil, kemudian apa yang berikutnya. Dan diatas dasar itulah, dita’wilkan oleh sebahagian orang Shufi, akan tingkat-tingkat yang menampak bagi Ibrahim a.s. pada meningkatnya.
Berkata sebahagian orang Shufi itu: “Bahwa ayat (1):
فلما جن عليه الليل
(Fala’mmaa ja’nna “alaihi’l-lailu).
Artinya: Tatkala gelaplah kepada Ibrahim keadaan”, رأى كوكبا ra-aakaukabaa -artinya: “maka sampailah ia kepada suatu hijab dari nur. Disebutkan hijab itu dengan kaubabكوكب (bintang). Dan tidaklah dimaksudkan dengan kau-kab. benda-benda yang bercahaya itu. Karena masing-masing orang kebanyakan, tidaklah tersembunyi bagi mereka, bahwa Ketuhanan tidaklah layak dengan benda-benda yang bertubuh (بالأجسامal-ajsam). Bahkan mereka mengetahui yang demikian itu pada permulaan perhatian mereka. Maka apa yang tidak menyesatkan orang kebanyakan (orang awam), tentu tidak menyesatkan Ibrahim Al-Khalil a.s. Dan hijab yang dinamakan dengan “nur”,tidaklah dimaksudkan akan cahaya yang dapat dirasa dengan pandangan mata. Tetapi dimaksudkan akan apa yang dimaksudkan dengan
firman Allah Ta’ala:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ
(Allaahu nuuru’ssamaawaati wa’1-ardli matsalu nuurihi kamisykaa-tin fiihaa mishbaa-hun) sampai akhir ayat 35 dari S. An-Nur. Artinya: “Allah itu nur bagi langit dan bumi. Bandingan nurNya adalah seperti satu kurungan pelita, yang didalamnya ada pelita …………” sampai akhir ayat.
Marilah kita lampaui saja segala pengertian ini, karena diluar dari Ilmu Mu’amalah dan tidak sampai kepada hakikatnya, kecuali dengan kasyaf yang mengikuti pikiran yang bersih. Dan sedikitlah orang yang terbuka baginya pintu kasyaf. Dan yang mudah bagi kebanyakan orang ramai, ialah berpikir mengenai apa yang mendatangkan faedah dalam Ilmu Mu’amalah. Dan itu juga termasuk hal yang banyak faedahnya dan besar manfa’atnya.
Maka tugas yang empat itu, ya’ni: do’a, dzikir. membaca dan tafakkur, seyogialah menjadi tugas seorang murid (orang yang menuntut jalan Allah), sesudah shalat Shubuh. Bahkan pada tiap-tiap wirid sesudah selesai dari tugas shalat. Sehingga tidak ada tugas, sesudah shalat selain yang empat ini.
Dan dikuatkannya untuk itu, dengan mengambil senjata dan benteng per-tahanan. Dan puasa adalah benteng yang menyempitkan jalan lalu-lintas setan, yang selalu bermusuh, memalingkan seorang murid dari jalan petunjuk.
Dan tak adalah shalat sesudah datang waktu Shubuh, selain dari dua raka’at fajar dan Fardlu shubuh, sampai kepada terbit matahari. Adalah Rasulu’llah صلى الله عليه وسلم dan para shahabatnya r.a. menggunakan waktu tersebut dengan berbagai macam dzikir. Dan itu adalah lebih utama, kecuali ia sangat mengantuk sebelum fardlu. Dan mengantuk itu tidak dapat ditolak, selain dengan shalat. Kalau ia bershalat karena yang demikian maka tiada mengapa.
Wirid yang kedua: ialah antara terbit matahari, sampai kepada waktu dluha siang hari. Saya maksudkan dengan dluha, ialah separuh antara terbit matahari, sampai kepada waktu gelincir matahari (waktu zawal). Yang demikian itu, dengan lewatnya tiga jam dari siang, apabila diumpamakan siang itu duabelas jam. Yaitu: seperempat dan pada seperempat dari siang ini terdapat dua tugas tambahan:
Yang pertama: shalat Dluha dan telah kami terangkan dahulu pada Kitab Shalat. Dan yang lebih utama (al-aula), ialah mengerjakan dua raka’at Dluha, ketika matahari sudah terbit. Yaitu, apabila matahari telah membentang dan meninggi kira-kira separuh anak panah. Dan mengerjakan shalat empat raka’at atau enam raka’at atau delapan raka’at, apabila telah panaslah dinding-dinding dan terasa tapak kaki dengan panas matahari. Maka waktu yang dua raka’at itu, ialah yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala dengan firmanNya:
يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالإشْرَاقِ
(Yusa’bbihna bi’l-asyiyyi wa’Iisyraaq). – S. Shad, ayat 18.Artinya: “Bertasbih memuji Tuhan petang dan pagi”.
Itu adalah waktu terbit matahari (waktu isyraq). Yaitu: terang sempurna sinarnya dengan meninggi matahari itu dari setentang wap dan debu yang terdapat atas permukaan bumi, dimana asap dan debu itu mencegah sempurnanya menampak terbitnya matahari.
Waktu yang empat raka’at itu, ialah Dluha yang tertinggi, dimana Allah Ta’ala bersumpah dengan dia, dengan firmanNya:
وَالضُّحَى وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى
(Wa-dklluhaa wa’Haili idzaa sajaa” – S. Adl-Dluha, ayat 1 dan 2.
Artinya “Demi waktu Dluha. Dan malam apabila senyap sepi” -Rasulu’llahصلى الله عليه وسلم pergi kepada para shahabatnya, dimana mereka sedang mengerjakan shalat ketika waktu isyraq. Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم berseru dengan suaranya yang keras:
إلا إن صلاة الأوابين إذا رمضت الفصال
(Alaa inna sholatal-awy abiina idzaa ramidlatil-fishaal). Artinya: “Ketahuilah. bahwa shalat bagi orang-orang yang tobat itu. ialah apabila telah panas lah dinding-dinding dengan sinar matahari”. (1). Maka karena itulah. kami katakan, bahwa apabila disingkatkan kepada sekali saja shalat., maka waktu tadi, adalah yang paling utama bagi shalat Dluha. walaupun pokok keutamaan itu, berhasil dengan mengerjakan shalat antara dua tepi waktu makruh (waktu kirahah bagi shalat). Yaitu: antara meninggi matahari dengan terbitnya. lebih-kurang separuh anak panah, sampai kepada sebelum zawal pada sa’at tengah hari (sa’at istiwa’). Dan nama Dluha itu. tertuju kepada semuanya. Dan seakan-akan dua raka’at isyaraq tadi. jatuh pada permulaan waktu keizinan shalat dan lewat-nya waktu kirahah. Karena Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Sesungguhnya matahari itu terbit dan bersamanya tanduk setan. Apabila matahari itu meninggi maka berpisahlah setan itu daripadanya”.
Sekurang-kurang meningginya, ialah matahari itu meninggi dari kabut dan debu tanah, Dan ini dijaga dengan berlebih-kurang.
Tugas yang kedua pada waktu ini: ialah perbuatan kebaikan yang berhubungan dengan manusia, yang berlaku menurut adat kebiasaan pada pagi hari. Seperti mengunjungi orang sakit, menyelenggarakan jenazah, menolong pada jalan kebajikan dan taqwa kepada Tuhan, mengunjungi majelis ilmu pengetahuan dan hal-hal lain yang sejalan dengan itu untuk memenuhi keperluan orang-orang muslim dan iain-Iain sebagainya. Kalau tidak ada sesuatu dari yang demikian itu, niscaya kembalilah kepada tugas yang empat yang telah kami terangkan dahulu. Yaitu: do’a, dzikir, membaca dan tafakkur. serta shalat-shalat sunat kalau mau, dimana shalat itu dimakruhkan sesudah shalat Shubuh dan tidak dimakruhkan sekarang. Sehingga jadilah shalat itu bahagian kelima dari jumlah tugas waktu ini, bagi orang yang ingin mengerjakannya. Adapun sesudah fardlu Shubuh, maka dimakruhkan tiap-tiap shalat yang tidak mempunyai sebab. Dan sesudah datang waktu Shubuh, yang lebih disukai, iaiah menyingkatkan shalat kepada dua raka’at faiar dan shalat tahiyyat masjid. Dan tidak mengerjakan shalat yang lain , tetapi berdzikir, membaca, mendo’a dan bertafakkur.
Wirid ketiga: dari dluha siang, sampai kepada. waktu zawal. Yang dimaksudkan dengan dluha, ialah separuh dari waktu tadi dan sebelum separuh itu sedikit, walaupun ada sesudah tiap-tiap tiga jam, disuruh dengan shalat.
Apabila telah berlalu tiga jam sesudah terbit matahari, maka pada tiga jam tadi dan sebelum ber’alunya, adalah shalat Dluha. Apabila telah le-wat tiga jam lagi, maka itulah waktu Dhuhur. Apabila lewat tiga jam lagi maka itulah waktu ‘Ashar. Dan apabila telah lewat tiga jam lagi, maka itulah waktu Maghrib.
Kedudukan Dluha diantara zawal dan terbit matahari, adalah seperti kedudukan ‘Ashar diantara zawal dan terbenam matahari. Kecuali, bahwa shalat Dluha itu bukan shalat fardiu. Karena waktunya adalah waktu manusia sibuk dengan urusannya. Maka diringankanlah itu kepada mereka. Tugas keempat: pada waktu ini ialah bahagian-bahagian yang empat itu dan ditambahkan lagi dua perkara:
Pertama bekerja dengan usaha. mengstur penghidupan dan datang kepa-sar. Kalau ia saudagar maka seyogialah berniaga dengan benar dan jujur. Kalau ia mempunyai perusahaan. maka dengan memberi nasehat dan kasih sayang. Dan tidak melupakan dzikir (ingat) kepada Allah Ta’ala daiam segala pekerjaan. Dan memendekkan usahanya itu sekedar keperluan untuk hari itu. manakaia ia sanggup berusaha tiap-tiap hari untuk pangannya.
Apabila telah berhasil yang mencukupi untuk harinya itu. maka hendaklah ia kembali ke-bait Tuhannya (baitu-rabbih) can menyediakan perbekalan bagi akhirat. Karena keperluan kepada perbekalan akhirat adalah lebih berat, Dan mengambil manfa’at dengan dia. adalah lebih kekal. Dari itu, bekerja dengan mengusahakan perbekalan akhirat adalah lebih penting daripada mencari tambahan diatas keperluan waktu itu. Ada yang mengatakan, bahwa orang mu’min, tidak didapati selain pada tiga tempat: pada masjid yang diramaikannya atau pada rumah yang ditu-tupkannya atau pada keperluan yang tak boleh tidak daripadanya. Dan sedikitlah orang yang mengetahui kadar, pada apa yang tidak boleh tidak itu. Bahkan kebanyakan manusia, menaksir barang yang boleh tidak, bahwa itu tidak boleh tidak baginya. Sebabnya karena setan menjanjikan kepada mereka kemiskinan dan menyuruhnya dengan perbuatan keji. Lalu mereka dengar setan itu dan mengumpulkan apa yang tidak dimakan karena takut miskin. Dan Aliah Ta’ala menjanjikan kepada mereka akan ampunan dan kumia daripadaNya. Lalu mereka berpaling daripada Allah Ta’ala dan tidak menyukaiNya.
Kedua: tidur siang. Dan ini sunat untuk membantu bangun malam, sebagaimana makan sahur sunat untuk membantu puasa siang. Kalau ia tidak bangun malam, tetapi kalau tidak tidur siang, ia tidak menggunakan waktunya itu kepada kebajikan. Dan mungkin bergaul dengan orang-orang yang latai dan bercakap-cakap dengan mereka. Maka dalam hal ini, tidur itu adalah lebih baik baginya, apabila tidak membangkitkan kerajinannya untuk kembali kepada berdzikir dan tugas-tugas yang tersebut dahulu. Karena pada tidur itu, adalah diam diri dan selamat. Berkata sebahagian mereka, bahwa akan datang kepada manusia suatu masa, dimana diam diri dan tidur padanya adalah lebih utama bagi segala amal perbuatannya. Berapa banyak.orang ‘abid (yang banyak beribadah), keadaannya yang sebaik-baiknya ialah tidur. Yang demikian itu, apabila menimbulkan ria dan tidak mendatangkan keikhlasan pada ibadahnya.
Maka betapa lagi dengan orang lalai yang fasiq itu!
Berkata Sufyan Ats-Tsuri r.a.: “Adalah mena’jubkan akan mereka apabila telah selesai dari tugasnya, oleh tidurnya, karena mencari keselamatan. Apabila tidur itu dimaksudkan untuk mencari keselamatan dan niat bangun malam, maka tidur itu adalah mendekatkan diri kepada Tuhan (qurbah)”.
Tetapi seyogialah bangun sebelum zawal, sekedar untuk mempersiapkan diri buat shalat dengan wudlu1 dan datang kemasjid sebelum masuk waktu shalat.
Yang demikian itu, adalah sebahagian daripada amal yang utama. Kalau tidak tidur dan tidak bekerja dengan sesuatu usaha dan mengguna-kan waktunya dengan shalat dan dzikir, maka itu adalah lebih utama segala amalan siang. Karena waktu hu, adalah waktu kelengahan manusia daripada mengingati Allah ‘Azza wa Jalla dan sibuk dengan kepentingan duniawi. Maka hati yang tercurah untuk berkhidmat kepada Tuhannya pada ketika hamba-hamba yang lain berpaling daripada pintuNya, adalah lebih layak disucikan oleh Allah dan dipilihNya untuk mendekati dan mengenaliNya.
Kelebihan yang demikian itu, adalah seperti kelebihan menghidupkan malam. Malam adalah waktu kelalaian dengan tidur. Dan itu tadi adalah waktu kelalaian dengan menuruti hawa nafsu dan menghabiskan waktu dengan kepentingan duniawi. Dan salah satu dari dua pengertian firman
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ خِلْفَةً لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَذَّكَّرَ
(Wa huwalladzii ja’alallaila wan-nahaara khilfatan liman araada an yadz-dzakkar).
Artinya: “Dan Dia yang menjadikan malam dan siang silih-berganti, untuk (pengajaran) bagi siapa yang memperhatikan” – S. Al-Furqan, ayat 62. Artinya: yang satu menggantikan yang lain tentang kelebihan. Dan pengertian yang kedua: bahwa yang satu menggantikan yang lain, sehingga diperoleh pada yang satu, apa yang telah hilang pada yang lain. Wirid Keempat: diantara zawal sampai kepada selesai dari shalat Dhuhur dan sunat rawatibnya (shalat sunat Dhuhur). Dan ini adalah wirid siang yang terpendek dan yang terutama.
Kalau sudah berwudlu’ sebelum zawal dan telah datang kemasjid, maka manakala telah gelincirlah matahari dan muadz-dzin telah memulai adzan, maka hendaklah bersabar sampai kepada selesai menjawab adzannya. Kemudian, bangunlah menghidupkan waktu dengan shalat diantara adzan dan iqamat.Itu adalah waktu mendhuhurkan (waqtu’Iidh-har), yang dimaksudkan oleh Allah Ta’ala dengan firmanNya:
وَحِينَ تُظْهِرُونَ
(Wa hiina tudh-hiruun) — S. Ar-Rum, ayat 18. Artinya: “Dan diwaktu kamu berdhuhur”.
Dan hendaklah bershalat pada waktu ini empat raka’at dengan satu salam, yang tidak dipisahkan diantara keempat raka’at itu. Dan shalat ini sendiri, diantara shalat-shalat siang yang lain, dinukilkan oleh sebahagian ulama, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم mengerjakannya dengan satu salam. Tetapi riwayat tersebut dikecam orang. Dan menurut mazhab Asy-Syafi’i r.a. bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم mengerjakan shalat tadi dua-dua raka’at, seperti sunat-sunat yang lain. Dan diceraikan dengan satu salam. Dan itulah yang dishahkan oleh hadits-hadits.
Hendaklah diperpanjangkan raka’at-raka’at ini karena segala pintu langit dibuka pada waktunya, sebagaimana telah kami bentangkan hadits mengenainya pada Bab Shalat Sunat dahulu. Dan hendaklah dibacakan padanya surat Al-BaqaTah atau surat dari ratusan ayatnya atau empat dari surat yang dibacakan selalu berulang-ulang (al-matsani).
Itulah sa’at-sa’at yang dimakbulkan do’a dan yang paling disukai oleh Rasulu’llahصلى الله عليه وسلم untuk diangkatkan amalan padanya. Kemudian, dikerjakan shalat Dhuhur dengan berjama’ah, sesudah dikerjakan empat raka’at yang pendek, yang tidak wajar ditinggalkan. Kemudian sesudah Dhuhur, hendaklah dikerjakan shalat dua raka’at, kemudian empat raka’at. Dan Ibnu Mas-ud memandang makruh diikutkan shalat fardlu dengan yang menyamainya, tanpa ada yang memisahkan. Dan sunat dibacakan pada shalat sunat ini ayat Al-Kursiyyi,penghabisan surat Al-Baqarah dan ayat-ayat yang telah kami bentangkan pada wirid pertama dahulu. Supaya adalah yang demikian, menghimpunkan diantara do’a, dzikir, bacaan, shalat, tahmid dan tasbih bersama kemuliaan waktu. Wirid Kelima: yaitu sesudah yang tadi sampai kepada ‘Ashar. Dan disunatkan pada waktu wirid ini i’tikaf (duduk beribadah dengan niat i’tikaf) dalam masjid, berdzikir dan bershalat atau berbagai amalan kebajikan. Dan dalam menunggu shalat itu, adalah dengan beri’tikaf. Maka sebahagian daripada amalan utama, ialah menunggu shalat sesudah shalat. Dan adalah yang demikian itu, sunnah (jalan yang ditempuh) oleh ulama-ulama terdahulu.Adalah orang yang masuk itu, memasuki masjid antara Dhuhur dan ‘Ashar, lalu mendengar dengungan suara pembacaan dari orang-orang yang bershalat, seperti dengungan bunyi Iebah. Kalau rumahnya telah diserahkan untuk Agama dan disepakatkan untuk kepentingan Agama, maka rumah itu adalah lebih utama terhadap dirinya. Maka menghidupkan wirid tadi, dimana wirid itu juga pada waktu manusia dalam kelalaian, adalah seperti menghidupkan wirid ketiga tentang kelebihannya. Pada waktu ini, dimakruhkan tidur bagi orang yang telah tidur sebelum zawal, karena dimakruhkan dua kali tidur pada satu siang hari. Berkata sebahagian ulama: “Tiga perkara dikutuk oleh Allah”, ketawa tanpa ada yang ganjil, makan tanpa lapar dan tidur siang tanpa berjaga pada malam hari”.
Pembatasan tidur: bahwa malam dan siang itu, adalah duapuluh empat jam. Maka tidur yang sederhana, ialah delapan jam pada malam dan siang seluruhnya. Kalau telah tidur selama delapan jam ini pada malam hari. maka tidak adalah artinya lagi uatuk tidur pada siang hari. Dan kalau kurang dari itu, maka disempurnakan sekedar yang kurang, dengan tidur pada siang hari….
Hendaklah manusia itu menghitung, kalau ia hidup enampuluh tahun, maka telah berkurang daripada umurnya duapuluh tahun. Dan manakala ia tidur delapan jam, yaitn sepertiga, maka telah berkurang daripada umurnya sepertiga Tetapi tatkala tidur itu adalah makanan bagi nyawa, sebagaimana makanan biasa adalah makanan bagi tubuh dan sebagaimana ilmu dan dzikir adalah makanan bagi jiwa, maka tidaklah mungkin manusia itu meninggalkan tidur dari jumlah yang sederhana tadi. Kadar seder-hana ini dan berkurang daripadanya, mungkin membawa kepada kegoncangan badan (tidak seimbang). Kecuali orang yang membiasakan tidak tidur malam sedikit demi sedikit. Kadang-kadang ia melatih dirinya atas yang demikian, tanpa menggoncangkan.
Wirid Kelima ini. adalah wirid yang paling panjang dan paling menyedapkan bagi hamba Allah. Yaitu salah satu dari petang, yang disebutkan oleh Allah dengan firmanNya:
وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَظِلالُهُمْ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ
(Wa lillaah! yasiudu mar. tissamaawaati wal-ardli thau’an wa kai-han wa dhilaaluhum bil-ghuduwy wal aashaal).Artinya: “Dan apa yang ada dilangit dan dibumi, semuanya tunduk kepada Allah, mau atau tidak mau, demikian juga bayang-bayang mereka diwaktu pagi dan petang” – S. Ar-Ra’d. ayat 15. Apabila telah bersujud kepada Allah “Azza wa Jalla segala benda beku (al-jamadatالجمادات ), maka bagaimanakah boleh dilcngahkan oleh hamba yang berakal, daripada segala macam ibadah itu
Wirid Keenam: apabila telah masuk waktu ‘Ashar, niscaya masuklah waktu wirid keenam. Yaitu: yang disumpahi oleh Allah Ta’ala, dengan firmanNya;وَالْعَصْرِ ” Walashri “. Demi waktu Ashar- S. Al-‘Ashr, ayat 1. Inilah adalah salah satu daripada dua pengertian ayat, yaitu: yang dimaksudkan dengan petang (بالآصال al-aashaal) pada salah satu dari dua penafsiran. Yaitu: kata-kata al-asyiyyi العشي (sore) yang tersebut pada firmanNyaوعشيا “wa ‘asyi-yyan”. (1).
Dan pada firmanNya: بالعشي والإشراق “bi’l-asyiyyi wa’l-isyraq”. (2).. Dan tak adslah pada wirid ini shalat, selain dari empat raka’at, antara adzan dan iqamat, sebagaimana yang telah lalu pada Dhuhur. Kemudian, mengerjakan shalat fardlu dan mengerjakan empat macam yang tersebut pada wirid pertama dahulu sampai kepada meninggi mata-
hari kepuncak pagar tembok dan warnanya menguning. Yang afdlal (lebih utama) pada wirid ini, karena dilarang shalat, ialah membaca Al-Qur’an dengan pengertian dan pemahaman yang mendalam Karena yang dimikian itu mengumpulkan antara dzikir, do’a dan fikir. Maka masuklah kedalam bahagian ini kebanyakan maksud dari bahagian yang tiga itu.
Wirid Ketujuh: apabila telah menguning cahaya matahari dengan mendekatnya kebumi, dimana cahaya ditutup oleh debu dan kabut yang ada dipermukaan bumi dan menampaklah kuning warna cahayanya, maka tna-sukjah waktu wirid ini. Yaitu seperti wirid yang pertama dahulu dari terbit fajar sampai kepada terbit matahari. Karena disini sebelum terbenam, sebagaimana disana sebeJum terbit. Dan inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala:
فَسُبْحَانَ اللَّهِ حِينَ تُمْسُونَ وَحِينَ تُصْبِحُونَ
(Fa subhaana llaahi hiina tumsuuna wahiina tush-bihuun).
Artinya: “Bertasbihlah (muliakanlah) Allah, ketika kamu dipetang hari dan ketika kamu dipagi hari!” – S. Ar-Rum, ayat 17. Dan inilah segi kedua yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala:
فَسَبِّحْ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ
(Fa sabbih wa athraa’fannahaar ).Artinya: “Maka bertasbihlah kepada Allah beberapa jam pada bahagian-bahagian siang, supaya engkau merasa senang!”. – S. Thaha, ayat 130. Berkata A’-Hasan: “Adalah mereka sangat mengagungkan petang daripada permulaan siang’. Berkata sebahagian salaf: “Adalah mereka menjadikan permulaan siang untuk dunia dan penghabisan siang untuk akhirat”.
Maka disunatkan pada waktu ini bertasbih dan beristighfar khususnya dan yang lain-lain dari apa yang telah kami sebutkan pada wirid yang pertama dahulu. Umpamanya, membaca:
أستغفر الله الذي لا إله إلا هو الحي القيوم وأسأله التوبة
(Astaghfiru’l-laaha’lladzii-laa ilaaha i’llaa hua’l-ha’yyuul-qa’yyuum wa as-aluhu’ttaubah).
Artinya: “Aku memohonkan ampun pada Allah yang tiada disembah, selain Dia, Yang Hidup, Yang berdiri sendiri dan aku bermohon padaNya Taubat Dan Membaca
وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِالْعَشِيِّ وَالإبْكَارِ
(Wa’staghfir lidzanbika wasa’bbih bihamdi ra’bbika bi’l-‘asyi’yyi wal ibkaar”.- S.AI-Mu’min, ayat 55.
Artinya: “Dan mohonkanlah ampun atas dosamu dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi!”.
Membaca istighfar dengan asma’ Allah (nama-nama Allah) yang tersebut dalam Al-Qur’an, adalah lebih disunatkan seperti membaca:استغفر الله إنه كان غفارا أستغفر الله إنه كان توابا رب اغفر وارحم وأنت خير الراحمين فاغفر لنا وارحمنا وأنت خير الراحمين فاغفر لنا وارحمنا وأنت خير الغافرين “Astaghfi-ru’llaaha i’nnahuu kaana gha’faaraa. Astaghfiru’Ilaaha i’nnahuu kaana ta’wwaabaa-Ra’bbighfir wa’rham wa anta khairu’rraahimiin-Faghfir lanaa wa’rhamnaa wa anta khairu’rraahimiiri-Faghfir lanaa wa’rhamnaa wa anta khairu’l-ghaafiirin”. (1).
Disunatkan membaca sebelum terbenam matahari: surat والشمس وضحاها “Wa’sy-syamsi wa dluhaa-haa”, surat والليل إذا يغشى “Wa’Ilaili idzaa yaghsyaa”, surat قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ”Qul a’uudzu bi ra’bbi’lfelaq” dan قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ “Qul a’uudzu bi ra’bbinnaas”. Dan hendaklah matahari itu terbenam, dimana dia sedang membaca istighfar.
Apabila mendengar adzan, lalu berdo’a: Wahai Allah Tuhanku! Inilah menghadapi malamMu, membelakangi siangMu dan suara-suara do’a kepadaMu”, sebagaimana telah diterangkan dahulu. Kemudian ia menjawab adzan dari muadz-dzin dan bersiap-siap dengan shalat Maghrib.
Dan dengan terbenamnya matahari, maka selesailah segala wirid siang. Maka seyogialah seorang hamba memperhatikan akan hal-ikhwal-nya dan mengadakan perhitungan (mengadakan hisab) akan dirinya. Sesungguhnya telah berlalu dari perjalanannya suatu jarak perjalanan. Kalau bersamaan-lah harinya itu dengan kemarennya, maka adalah ia merugi. Dan kalaulah lebih buruk dari kemaren, maka adalah ia terkutuk. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم ‘Tiadalah diberikan kepadaku keberkatan pada hari, dimana aku tidak bertambah kebajikan padanya”. (2).
Kalau ia melihat dirinya sempurna diatas kebajikan pada seluruh siang ha-rinya, dengan merasa senang, tanpa kesulitan, niscaya dirinya itu adalah menggembirakan
Maka hendaklah ia bersyukur kepada Allah Ta’ala, diatas faufiq dan petunjuk Allah kepadanya bagi jalanNya. Dan kalau sebaliknya, maka hendaklah malam itu menggantikan siang. Hendaklah ia ber’azam untuk memperoleh apa yang telah lalu dari keteledorannya. Karena kebajikan itu menghilangkan kejahatan. Dan hendaklah ia bersyukur kepada Allah diatas kesehatan badannya. Dan yang tinggal dari sisa umurnya sepanjang malamnya itu, hendaklah dipergunakan untuk memperoleh apa yang telah hilang dengan sebab keteledorannya. Dan hendaklah ia menghadirkan kedalam jiwanya, bahwa siang keumuran itu mempunyai penghabisan, dimana terbenamlah matahari kehidupan padanya. Maka tak adalah matahari kehidupan itu terbit lagi sesudahnya. Dan pada ketika itu tertutuplah pintu untuk memperoleh kembali yang telah hilang dan meminta kema’afan.
Tidaklah umur itu selain dari beberapa hari saja yang dapat dihitung, yang pasti berlalu keseluruhannya dengan berlalu satu-persatunya.
PENJELASAN: Wirid-wirid malam. Yaitu: lima.
Pertama: apabila telah terbenam matahari, lalu mengerjakan shalat Maghrib dan bekerja dengan menghidupkan diantara Maghrib dan ‘Isya’. Dan penghabisan wirid ini ialah ketika terbenam syafaq, yaitu megamerah, dimana dengan hilangnya itu, masuklah waktu shalat ‘isya’ (Shalat al-‘atamah).
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah bersumpah dengan syafaq. Ia berfirman:
فَلا أُقْسِمُ بِالشَّفَقِ
(Falaa uqsimu bi’sy-syafaq”. – S. Al-Insyiqaaq, ayat 16. Artinya: “Aku bersumpah dengan syafaq (mega merah disenjakala”). Dan shalat pada waktu syafaq itu, adalah shalat dimalam hari. Karena syafaq itu adalah kejadian pertama bagi sa’at-sa’at malam. Dan adalah salah satu dari waktu-waktu yang tersebut pada firman Allah Ta’ala:
وَمِنْ آنَاءِ اللَّيْلِ فَسَبِّحْ
(Wa min anaa-i’l-laili fasa’bbih) – S. Thaha, ayat 130 Artinya: “Maka bertasbihlah pada beberapa jam dari malam hari!” -Yaitu: shalat orang-orang yang bertobat (shalat al-awwabin). Dan itulah yang dimaksud dengan firman Allah Ta’alaتَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا “Tatajaafaa junuubuhum ‘a-ni’l-madlaaji” – S. As-Sajadah, ayat 16.Artinya: “Mereka meninggalkan tempat tidurnya”.
Diriwayatkan yang demikian daripada Al-Hasan dan disandarkan (di-isnadkan) oleh Ibnu Abi Ziyad kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم “Bahwa ditanyakan Nabiصلى الله عليه وسلم tentang ayat tadi, lalu Nabi صلى الله عليه وسلم menjawab: yaitu: shalat antara Maghrib dan Isya”. Kemudian Nabi صلى الله عليه وسلمmenyambung: “Kamu harus mengerjakan shalat diantara Maghrib dan ‘Isya karena sesungguhnya shalat itu menghilangkan segala yang sia-sia disiang hari dan membersihkan penghabisan dari hari itu”. Kata-kata: segala yang sia-sia, dalam bahasa Arabnya, tersebut pada hadits tadi, dengan kata-kata al-mulaaghaat. adalah kata-kata jama’ dari kata-kata mulghah, berasal dari kata-kata al-laghwi, artinya: yang sia-sia atau batil. Ditanyakan Anas r.a. tentang orang yang tidur antara Maghrib dan ‘Isya’, lalu ia menjawab: ” Jangan engkau lakukan, karena waktu itu adalah sa’at yang dimaksudkan dengan Firman Allah Ta’ala: تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ’Tatajaafaa junuubuhum ‘ani’l-madlaaji” — S. As-Sajadah, ayat 16 yang telah tersebut diatas tadi. Dan akan datang penjelasan keutamaan menghidupkan dengan amalan, diantara Maghrib dan ‘Isya’ nanti pada Bab Kedua.
Susunan wirid ini, ialah: mengerjakan shalat pertama-tama sesudah magrib dua raka’at dengan membaca pada keduanya: Qul-yaa a’yyu-ha’l-kaa-firuun dan Qul hua’llaahu ahad. Dan kedua raka’at tadi dilaksanakan dibelakang Maghrib benar, tanpa diselangi dengan percakapan dan perbuatan apapun. Kemudian, dikerjakan shalat empat raka’at dengan memanjangkannya. Kemudian, dikerjakan shalat tagi sampai terbenam syafaq, sekedar yang mudah baginya.
Kalau masjid itu berdekatan dengan rumahnya, maka tiada mengapa dikerjakan shalat tadi dirumah, kalau tak ada azamnya ber-:it’tkaf dimasjid. Dan kalau “ber’azam kepada ber-i’tikaf dimasjid untuk menunggu shalat Isya’, maka itu adalah lebih utama, apabila ia merasa terpelihara daripada berbuat-buat (at-tasha’nnu) dan ria.
“Wirid Kedua: masuk dengan masuknya waktu ‘Isya’, sampai kepada batas waktu orang tidur. Yaitu permulaan bersangatan gelap. Allah Ta’ala bersumpah dengan itu.
firmanNya:
وَاللَّيْلِ وَمَا وَسَقَ
(Wa’llaili wa maa wasaq) – S. Al-Insyiqaq, ayat 17.Artinya: “Demi maiam dan apa yang dikumpulkan dari kegelapannya”.
Dan berfirman Allah Ta’ala:
إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ
(ilaa ghasaqi’l-lail” – S. Al-Isra’, ayat 78 (1). Artinya: “Sampai gelap malam”.
Maka disitu menggelaplah malam dan berkumpullah dengan bersangatan gelap.
Susunan wirid ini, dengan memelihara tiga perkara:
Pertama: mengerjakan shalat, selain daripada fardlu Isya’, sepuluh raka’at: empat raka’at sebelum fardlu ‘Isya’, karena menghidupkan diantara adzan dan iqamat dengan mengerjakan shalat, enam raka’at sesudah fardlu ‘Isya’: dua raka’at, kemudian empat raka’at. Dan membaca padanya dari Al-Qur’an, ayat-ayat tertentu, seperti penghabisan surat Al-Ba-qarah, ayat Al-Kursiyyi, permulaan surat AI-Hadid, penghabisan surat Al-Hasyr dan lainnya.
Kedua: mengerjakan shaiat tigabelas raka’at, dimana akhirnya adalah witir. Karena sesungguhnya kebanyakan dari apa yang diriwayatkan, ialah Nabi صلى الله عليه وسلم mengerjakan shalat dengan cara itu pada malam hari. Orang-orang cerdik mengambil waktunya dari awal malam dan orang-orang kuat dari akhir malam. Dan yang lebih teliti, ialah mendahulukan, karena kadang-kadang tiada tcrbangun atau berat untuk bangun. Kecuali apabila yang demikian itu, telah menjadi kebiasaan baginya. Maka dalam hal ini, akhir malam adalah lebih utama. Kemudian, hendaklah dibaca pada shalat ini, kira-kira tigaratus ayat dari surat-surat tertentu, dimana Nabiصلى الله عليه وسلم banyak membacanya, seperti: sural Yasin. As-Sajadah, surat Ad-Dukhan, Tabaraka’imulk, Az-Zumar dan Al-Waaqi’ah.
Kalau tidak mengerjakan shalat, maka janganlah meninggalkan membaca surat-surat tadi atau sebahagian dari padanya sebelum tidur. Sesungguh-hya diriwayatkan dalam tiga hadits, akan apa yang dibacakan oleh Rasulu’llah صلى الله عليه وسلم saban malam. Yang lebih terkenal daripadanya, ialah surat As-Sajadah, Tabaaraka’l-mulk, Az-Zumar dan Al-Waaqi’ah. Dan pada suatu riwayat, surat Az-Zumar dan Bani-Israil (Surat Al-Isra’). Dan pada ‘ riwayat lain, adalah Nabi صلى الله عليه وسلم membaca surat-surat yang dimulai dengan ucapan tasbih (2) pada tiap-tiap malam.
Dan Nabi صلى الله عليه وسلم mengatakan, bahwa satu ayat pada surat-surat itu, adalah lebih utama daripada seribu ayat yang lain.
Adalah para ulama menjadikan surat-surat tersebut itu enam, lalu ditambahkan mereka: “Sa’bbihi’sma ra’bbika’l-a’laa”, karena tersebut pada hadits: “Bahwa Nabiصلى الله عليه وسلم amat menyukai “Sa’bbihi’sma ra’bbi-ka’l-a’laa”. (3).
Dan ia membaca pada tiga raka’at witir. tiga surat: سبح اسم ربك الأعلى Sa’bbi-hi’sma ra’bbika’l-a’laa. قل يا أيها الكافرون Qul yaa’yyuha’l-kafiruun dan surat Alkhlash إخلاص(Qul-hua’llaahu ahad). Apabila telah selesai dari Witir, lalu beliau baca: سبحان الملك القدوس “Subhaana’l-mali-ki’I-qudduus” tiga kali.
Ketiga: witir Dan-hendaklah berwitir sebelum tidur, kalau tidak ada kebi-asaannya bangun malam. Berkata Abu Hurairah r.a.: “Diwasiatkan kepadaku oleh Rasulu’llahصلى الله عليه وسلم., bahwa aku tidak tidur, kecuali sesudah witir”.
Kalau sudah membiasakan shalat malam, maka mengemudiankan witir itu. adalah lebih utama. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم.:
صلاة الليل مثنى مثنى فإذا خفت الصبح فأوتر بركعة
(Shalaatul-laili matsnaa-matsnaa fa idzaa khiftash-shubha fa-autir bi-rak’ah).
Artinya: “Shalat malam itu dua – dua raka’at. Apabila engkau takut akan datang waktu Shubuh, maka berwitirlah dengan seraka’at saja!” (1). Berkata ‘Aisyah r.a.: “Rasulu’llah صلى الله عليه وسلم. mengerjakan witir pada awal malam. pada pertengahannya dan pada akhirnya. Dan habislah witirnya, sampai kepada waktu sahur”. (2).
Berkata Ali r.a.: “Witir itu adalah atas tiga jurusan. Kalau mau. engkau dapat berwitir pada awal malam. kemudian engkau mengerjakan shalat dua raka’at – dua raka’at. Ya’ni: dia itu menjadi witir dengan yang telah lalu dikerjakan. Kalau mau, engkau dapat berwitir dengan seraka’at. Apabila engkau bangun nanti. engkau genapkan kepadanya dengan raka’at yang lain. Kemudian engkau berwitir pada akhir malam. Dan kalau mau^ngkau kemudiankan witir, supaya adalah ia akhir shalatmu!” Inilah yang diriwayatkan dari Ali r.a.
Cara yang pertama dan yang ketiga. tidak apa-apa, dapat dikerjakan. Adapun membatalkan witir itu telah shah dilarang. Maka tiada seyogialah dibatalkan. Dan diriwayatkan secara mutlak. bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم. bersabda: “Tak ada dua witir pada suatu malam”. Dan bagi orang yang ragu tentang terbangunnya nanti. dapat ia berbuat yang lebih menyenangkan, yang dipandang baik oleh sebahagian ulama. Yaitu, ia mengerjakan shalat dua rakaat sesudah witir. dengan duduk pada tikarnya ketika tidur. Adalah Rasulu’llah صلى الله عليه وسلم. berpindah kepada tikarnya dan mengerjakan shalat dua raka’at dan membaca pada kedua raka’at itu: “Idzaa zulzilat dan Al-haa-kurmfttakaatsur”. Karena pada dua surat ini mengandung peringatan dan. janji balasan atas perbuatan yang berdosa (at-tahzir dan al-wa’id). Dan pada satu riwayat, Nabi صلى الله عليه وسلم. membaca: قل يا أيها الكافرون”Qul yaa a’yyuha’l-kaafiruun”.
Karena pada surat ini mengandung maksud melepaskan diri dari orang-orang kafir (at-tabri-ah) dan menunggalkan ibadah semata-mata kepada Allah Ta’ala. Maka dikatakan: kalau ia terbangun, maka yang dua raka’at tadi, berkedudukan pada kedudukan seraka’at. Dan ia dapat berwitir dengan seraka’at lagi pada akhir shalat malam. Dan se-akan-akan shalat yang lalu telah menjadi genap dengan dua raka’at itu, lalu baguslah mengulangi kembali shalat witir.
Cara ini dipandang baik oleh Abu Thalib Al-Makki dan ia mengatakan: “Pada cara ini terdapat tiga amalan: pendek angan-angan, berhasil witir dan witir itu pada akhir malam”. Dan itu adalah seperti yang telah dise-butkannya,
Tetapi kadang-kadang terguris dihati, bahwa kalaulah kedua raka’at itu, menggenapkan apa yang telah lalu, niscaya adalah seperti yang demikian. Dan kalau ia tidak terbangun dan telah dibatalkannya witirnya yang pertama, maka keadaannya adalah menggenapkan, kalau ia terbangun dan tiada menggenapkan, kalau ia tertidur.
Maka dalam hal ini, ada pandangan. Kecuali, bahwa shah dari Rasulu’llah صلى الله عليه وسلم peng-witir-annya sebelum kedua raka’at itu dan pengulanganya akan witir.
Maka dipahamkan dari padanya, bahwa dua raka’at itu genap menurut bentuknya dan ganjil menurut artinya (maksudnya). Maka disunatkan ganjil raka’atnya (witir), jika ia tidak terbangun dan genap, jika ia terbangun.
Kemudian, disunatkan sesudah memberi saiam dari witir, membaca:
سبحان الملك القدوس رب الملائكة والروح
(Subhaana’l-maliki’l-qu’dduus, ra’bbil-malaaikati wa’rruuh, jallalta’s-‘ samaawaati wal-ardla bi’I-‘adhamati wa’l-jabaruut.wa ta’azzazta bil-qud-ra-ti wa qa*hharta’l-‘ibaada bi’l-maut).Artinya: “Mahasuci Raja-diraja, Yang Mahaqudus, Tuhan malaikat dan ruh. Engkau besarkan bumi dan langit dengan keagungan dan keperkasaan. Engkau Yang Mahamulia dengan qudrah dan Engkau pak-sakan segala hamba dengan kematian”.
Diriwayatkan: “Bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم sewaktu akan wafat adalah kebanyakan shalatnya duduk, selain dari shalat fardlu” (1). Dan Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Bagi orang yang shalat duduk, separuh pahala shalat orang yang berdiri dan bagi orang yang shalat berbaring, separuh pahala shalat orang yang duduk” (2).
Dan itu menunjukan, atas shah nya shalat sunat dengar berbaring. Wirid ketiga: tidur. Dan tiada mengapa dihitung tidur itu termasuk dalam wirid. Karena apabila dijaga segala adabnya. niscaya terhitung ia sebagai ibadah. Ada yang mengatakan “Bahwa hamba apabila tidur dengan (berwudlu”) dan mengingati (berdzikir) akan Allah Ta’ala ia dituliskan sebagai orang yang bershalat sampai ia bangun dan masuklah malaikat kedalam. baju panasnya. Kaiau bergerak dalam tidurnya lalu berdzikir kepada Allah Ta’ala, niscaya malaikat berdo’a baginya dan meminta ampun kepada Allah dosanya” (1).
Dan pada suatu hadits tersebut: “Apabila tidur seseorang dengan bersuci (berwudlu’), nescaya diangkatkan ruh nya ke ‘Arasy”. Ini, mengenai orang awam, maka betapa lagi dengan orang orang tertentu (al-khawwash,) para ulama dan orang-orang yang berhati bersih? Maka mereka itu diberi kasyif. terbuka segala sirr (rahasia) dalam tidurnya. Karena itulah. bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم
نوم العالم عبادة ونفسه تسبيح
(Naumr.’-‘aalimi ibaadah wan nafsuhu tasbiih)Artinya: ‘Tidur orang yang berilmu itu ibadah dan nafasnya itu tasbih” (2)
Bertanya Mu’az kepada Abi Musa: “Bagaimana anda berbuat tentang bangun malam?”
Menjawab Abi Musa: ” Aku bangun malam seluruhnya, tiada aku tidur sedikitpun pada malam. Aku junjung Al-Quran pada malam dengan sebenar-benarnya”.
Berkata Mu’az: “Tetapi aku. aku tidur, kemudian aku bangun dan aku menghitung amalanku dalam tidur, sebagaimana aku menghitung amalanku dalam bangun”.
Hal ini, diceriterakan oleh keduanya (Mu’az dan Abi Musa) kepada Rasulu’llah صلى الله عليه وسلم maka Nabi صلى الله عليه وسلم menjawab: “Mu’az lebih berpaham daripadamu!”
Adab tidur itu sepuluh:
Pertama: bersuci dan bersugi. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم “Apabila hamba itu tidur dengan bersuci, niscaya dinaikkan ruhnya ke Arasy, maka adalah mimpinya itu benar. Dan kalau ia tidur dengan tidak bersuci, niscaya pendeklah ruhnya daripada sampai. Maka segala mimpinya, adalah mimpi-mimpi yang bercampur baur, yang tidak benar” (3).
Dan yang dimaksudkan dengan suci itu, ialah suci dhahir dan batin kesemuaanya. Dan suci batin itu membekas dalam mengkasyafkan segala hijab
Kedua: menyediakan pada sisi kepalanya sugi dan air yang suci menyucikan dan berniat bangun beribadah ketika terbangun. Dan tiap kali ia terbangun, terus bersugi Begitulah dikerjakan oleh sebahagian salaf. Diriwayatkan dari Rasulu’llah صلى الله عليه وسلم “Bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersugi pada tiap-tiap malam beberapa kali, ketika tiap-tiap tidur dan ketika terbangun daripadanya”.
Dan kalau tidak mudah baginya bersuci (berwudlu*), niscaya disunatkan menyapu anggota badannya dengan air. Kalau tidak ada air, maka hendaklah duduk dan menghadap qiblat dan berdzikir, mendo’a dan beitafakkur tentang segala ni’mat Allah Ta’ala dan qudrahNya. Dan itu, sama halnya dengan bangun malam beribadah. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم “Barangsiapa mendatangi termpat tidurnya dan berniat bangun untuk mengerjakan shalat dimalam hari, lalu tidak terbangun sampai Shubuh, niscaya dituliskan baginya apa yang diniatkannya. Dan tidurnya itu adalah sedekah kepadanya daripada Allah Ta’ala”. (1).
Ketiga: bahwa tidaklah bermalam (tidur) orang yang mempunyai wasiat, sebelum wasiatnya itu tertulis, terletak disisi kepalanya. Karena ia tidak aman, jiwanya diambil dalam tidur. Sesungguhnya orang yang mati, tanpa meninggalkan wasiat, niscaya tidak diizinkan berkata-kata dialam barzakh, sampai kepada hari kiamat, la dikunjungi oleh orang-orang yang mati dan bercakap-cakap, sedang ia tidak dapat berkata-kata.
Berkata sebahagian dari orang-orang yang mati itu sesamanya: “Orang yang patut dikasihani ini. meninggal tanpa berwasiat”. Dari itu, disunatkan meninggalkan wasiat, karena dikuatiri mati dengan tiba-tiba. Dan mati dertgan tiba-tiba itu. adalah meringankan, kecuali bagi orang yang tidak mempunyai persediaan untuk mati, dengan berat punggungnya memikul perbuatan-perbuatan zalim.
Keempat: bahwa ia tidur dengan bertobat dari segala dosa, baik hati untuk sekalian orang muslimin, tidak membawa dirinya menganiaya seseorang dan tidak berazam kepada perbuatan ma’siat, bila ia telah jangun nanti. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم “Barangsiapa kembali kepada tikarnya, tanpa berniat menganiaya dan berdengki hati kepada seseorang, niscaya ia diampunkan dari apa yang telah dikerjakannya”. (2).
Kelima: bahwa tidak bermewah-mewahan dengan persediaan tikar yang empuk. Tetapi ditinggalkan yang demikian atau disederhanakan saja. Adalah sebahagian salaf memandang makruh mengadakan persediaan untuk tidur dan memandang yang demikian itu memberatkan diri sendiri (takalluf). Golongan Tasawwuf (kaum Shufi) tidak mengadakan batas antara mereka dan tanah. Mereka mengatakan: “Dari tanah kita dijadikan dan kepada tanah kita dikembalikan (minhaa khuliqnaa wa ilaihaanura’ddu)”.
Mereka memandang yang demikian, menghaluskan jiwa dan lebih layak untuk merendahkan diri.Orang yang tidak membolehkan dirinya dengan yang demikian, maka hendaklah menyederhanakan saja.
Keenam: tidak tidur sebelum tidur itu meminta benar. Dan tidak memberatkan dirinya oleh tarikan tidur, kecuali apabila bermaksud dengan tidur itu, untuk memudahkan bangun pada akhir malam.
Adalah tidur mereka (kaum Shufi) itu, bila terpaksa, makannya sekedar perlu dan perkataannya yang penting-penting saja. Karena itulah, disifatkan, bahwa mereka sedikit saja tidur pada malam hari. Dan kalau didesak benar oleh tidur, dari melakukan shalat dan dzikir dan tidak tahu lagi, apa yang dikatakannya, maka hendaklah tidur, sampai dapat dipahaminya lagi, akan apa yang diucapkannya.
Adalah Ibnu Abbas r.a. benci benar akan orang tidur sedang duduk. Dalam hadits tersebut: “Jangan kamu menanggung penderitaan pada malam!”
Diceriterakan kepada Rasulu’llah صلى الله عليه وسلم “Bahwa si Anu (seorang wanita) mengerjakan shalat pada malam hari. Maka apabila ia tertidur benar lalu bergantung dengan tali. Maka dilarang oleh Nabi صلى الله عليه وسلم daripada yang demikian itu, seraya bersabda: “Hendaklah mengerjakan shalat seorang kamu pada malam, sekedar yang mudah saja. Apabila didesak oleh tidur, maka hendaklah tidur!” (1).
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم “Pikullah pekerjaan sekedar kamu sanggup. Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak bosan sampai kamu bosan”. (2). Bersabda Nabiصلى الله عليه وسلم “Yang baik dari Agama ini, ialah yang termudah daripadanya”. Diceriterakan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم “Bahwa si Anu mengerjakan shalat, lalu ia tidak tidur-tidur dan mengerjakan puasa, lalu tidak pernah berbuka (tidak pernah meninggalkan puasa seharipun)”. Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Tetapi aku mengerjakan shalat dan tidur, mengerjakan puasa dan berbuka. Inilah sunnahku! Barangsiapa benci kepada sunnahku, maka dia tidaklah daripada golonganku” (3). Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم : “Jangan kamu lawan agama ini, karena dia adalah kokoh. Barangsiapa melawannya, niscaya akan dikalahkannya. Janganlah engkau marah kepada dirimu, karena beribadah kepada Allah!” (4). Ketujuh: tidur dengan menghadab qiblat. Dan menghadap qiblat itu dua macam:
1. Seperti menghadap qiblat yang dilakukan oleh orang sakit keras, yaitu: . tidur menelentang atas kuduknya. Maka yang menghadap qiblat disini,ialah mukanya dan kedua pelipisnya kearah qiblat.
2. Sepertimenghadapqiblat bagi liang kubur (liang lahad). Yaitu: tidur diatas rusuk, dimana mukanya kearah qiblat, bersama-badannya menghadap keqiblat juga, apabila tidur dengan rusuk bahagian kanan.
Kedelapan: mendo’a ketika tidur, dengan membaca: “Bi’smika Rabbii,wadla’tu janbii, wa bi’smika arfa’uhu……..sampai kepada penghabisan
do’a-do’a yang dinukilkan, yang telah kami bentangkan dahulu pada Kitab Do’a.
Disunatkan membaca ayat-ayat tertentu, seperti Ayat Al-Kursiyyi. penghabisan surat Al-Baqarah dan lain-lainnya dan firman Allah Ta’ala: “Wa ilaahukum ilaahun waahid, laa ilaaha i’llaahu — sampai kepada firmanNya: liqaumin ya’qiluun” – S. Al-Baqarah, ayat 163 – 164 (1). Ada yang mengatakan, bahwa barangsiapa membaca ayat tadi ketika tidur niscaya dihafalkan oleh Allah kepadanya Al-Quran, Maka tidak akan dilupakannya lagi.
Dan dibaca dari surat Al-A’raf, akan ayat ini: “Inna ra’bbakumu’I-lahu’lladzii khalaqa’ssamaawaati wa’1-ardla fi si’ttati ayyaam” (2). sampai kepada firmanNya: “qariibun mina’l-muhsiniin” – S. Al- A’raf, ayat 54-55-56. Dan akhir surat Bani Israil: “Quli’d’u’llaaha sampai penghabisan kedua ayatnya” – Ayat 110-111 (3).
Maka sesungguhnya masuk kedalam baju panasnya, malaikat yang diserahkan untuk menjaganya. Maka malaikat itu meminta ampun baginya. Dan dibaca: “Qul a’uudzu bira’bb’il-falaq” dan “Qul a’uudzu bira’b-bi’nnaas”. Dan menghembuskan dengan ayat-ayat itu pada kedua tangannya dan menyapu dengan ‘kedua tangannya itu akan muka dan seluruh badannya. Begitulah diriwayatkan daripada perbuatan Rasulu’llah 4 صلى الله عليه وسلم
Dan hendaklah dibaca sepuluh ayat dari awal surat Al-Kahf dan sepuluh ayat daripada akhirnya. Dan ayat-ayat ini, adalah untuk terbangun menegakkan malam dengan amalan.
Adalah Ali r.a. berkata: ‘Tiadalah aku melihat orang yaiJg sempurna akalnya, tidur sebelum membaca dua ayat dari penghabisan surat Al-Baqarah”.
Dan hendaklah dibaca duapuluh lima kali: “Subhaana’llaah, wa’l-hamdu li’llah, wa laa ilaaha i’lla’liaah .wa’llaahu akbar”. supaya jumlah kalimat yang empat ini menjadi seratus kali.
اللَّهُ يَتَوَفَّى الأنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا
(Allaahu yatawaffal-anfusa hiina mautihaa wallatii lam tamut fii manaami-haa).
Artinya: “Allah yang mengambil jiwa manusia itu ketika mati dan ketika tidurnya” S. Az-Zumar, ayat 42. Dan berfirman Allah Ta’ala:
وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُمْ بِاللَّيْلِ
(Wa huwalladzii yatawaffaakum bil-lail).Artinya: “Dan Dialah yang mematikan (mengambil nyawa) kamu dimalam hari (waktu tidur’) – S. Al-An’am, ayat 60.
Allah Ta’ala menamakan tidur itu mati. Dan sebagaimana orang yang terbangun dari tidur, terbuka kepadanya segala pemandangan, yang tiada sesuai keadaannya dengan yang didalam tidur. Maka begitu pula orang yang dibangkitkan dari kubur, akan melihat apa yang tidak terguris sekali-ka!i dihatinya dan tidak dipersaksikan oleh pancainderanya. Dapatlah diumpamakan, bahwa tidur diantara hidup dan mati itu. seperti alarn barzakh diantara dunia dan akhirat.
Berkata Luqman kepada anaknya: “Wahai anakku! Kalau engkau ragu pada mati. maka janganlah engkau tidur. Maka sebagaimana engkau tidur, maka begitu pulalah engkau mati. Dan kalau engkau ragu pada kebangkitan, maka janganiah engkau bangun. Maka sebagaimana engkau bangun sesudah tidur. maka seperti itu, pulalah engkau dibangkitkan sesudah mati”.
Berkata Ka’b Ai-Ahbar: “Apabila engkau tidur maka tidarlah dengan bahagian badanmu yang kanan (rusukmu yang kanan) dan menghadaplah keqiblat dengan mukamu! Karena tidur itu adakah mati”. Berkata A’isyah r.a.’: “Adalah penghabisan yang dibacakan oleh Rasulu’llah صلى الله عليه وسلم ketika tidur, dimana ia meletakkan pipinya keatas tangan kanannya dan ia memandang, bahwa ia wafat pada maiamnya itu:
Kcsembilan: bahwa mengingati ketika tidur, bahwa tidur itu adalah semacam mati dan bangun itu adalah semacam kebangkitan. Berfirman Allah Ta’ala:
اللهم رب السموات السبع ورب العرش العظيم
(Allaa hu’mma ra’bba’ssamaawaati’ssab’i wa ra’bbaT’arsyi’l-‘adhiim. Ra’bbanaa wa ra’bba ku’lli syai-in wa maiiikahu…….) sampai kepadaakhirnya, sebagaimana telah kami sebutkan pada Kitab Do’a Maka berhaklah hamba memeriksa tiga perkara ketika tidurnya atas dasar apa ia tidur, apakah yang lebih banyak padanya: mencintai Allah Ta’ala dan mencintai menjumpaiNya atau mencintai dunia.Dan Hendaklah ia menyakini, bahwa ia akan meninggal dunia diatas apa yang lebih banyak padanya. Dan ia akan dibangkitkan diatas apa ia meninggal. Sesungguhnya manusia itu bersama orang yang dicintainya dan bersama apa yang dicintainya.
Kesepuluh: mendo’a ketika terbangun, Maka hendaklah membaca pada waktu bangun dan berbalik-balik. badannya tatkala terbangun, akan apa yang dibaca oleh Rasulu’llah صلى الله عليه وسلم Yaitu:لا إله إلا الله الواحد القهار رب السموات والأرض وما بينهما العزيز الغفار
(Laa ilaaha i’lllallahul wahidul qoh harr ra’bhu’ssamaawaati wa’l-ardli wa maa bainahuma azizul ghofar).Artinya: “Tiada yang disembah, selain Allah Yang Mahaesa, lagi Maha-perkasa, Yang mempunyai langit dan bumi dan apa-apa yang ada diantara keduanya. Yang Maha-mulia, lagi Mahapengampun” (1). Dan hendaklah berusaha benar, supaya penghabisan yang berlalu pada hatinya, ketika tidur, ialah dzikir (ingatan) kepada Allah Ta’ala. Dan yang pertama datang pada hatinya ketika terbangun, ialah dzikir kepada Allah Ta’ala. Itu adalah tanda cinta kepada Allah. Dan tidaklah terbiasa hati kepada dua “keadaan ini, kecuali apa yang terbiasa padanya. Maka hendaklah melatih hati dengan yang demikian Karena itu, adalah tanda cinta, yang terbuka dari lubuk hati.
Sesungguhnya disunatkan, segala ddkir tersebut, supaya dapat menarikkan hati kepada berzikir (mengingat) akan Allah Ta’ala.
Apabila bangun untuk mendirikan amalan pada malam, maka dibaca:
الحمد لله الذي أحيانا بعد ما أماتنا وإليه النشور
(Al-hamdu li’ilaahil-ladzii ahyaanaa ba’da maa amaatanaa wa ilaihrn-nusyuur……..) sampai kepada penghabisan dari apa yang telah kami bentangkan dahulu, dan do’a-do’a bangun dari tidur.
Wirid keempat: masuk dengan lewatnya nsshfu pertama (setengah yang pertama) daripada malam, sampai kepada tinggal seperenam dari malam. Dan ketika itu bangunlah hamba uhtuk shalat tahajjud. Nama Tahajjud: tertentu dengan sesudah hujud dan huju’, yaitu tidur. Dan ini adalah tengah malam dan serupa dengan wirid yang sesudah zawal tengah hari
وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى
(Wa’l-laili idzaa sajaa) – S. Adl-Dluha, ayat 2.
Artinya: “Demi malam, apabila telah tenang (gelap)”. Dan tenangnya itu, adalah tenteramnya pada waktu tersebut. Tidak ada mata, selain yang tidur, kecuali Yang maha hidup, Yang Maha berdiri, yang tak ada padaNya kelupaan dan ketiduran.
Ada yang mengatakan: “idzaa sajaa”, artinya ialah: apabila malam itu telah memanjang dan telah panjang. Dan ada yang mengatakan: apabila malam itu telah gelap.
Ditanyakan kepada Rasulu’llah صلى الله عليه وسلم “Malam manakah yang lebih didengar do’a?”Nabi صلى الله عليه وسلم, menjawab: “Tengah malam!”
Nabi Daud a.s. mendo’a: “Wahai Tuhanku! Sesungguhnya aku amat suka berbuat ibadah kepadaMu. Maka waktu manakah yang lebih utama?” Maka diwahyukan oleh Allah kepadanya: “Wahai Daud! Janganlah kamu bangun pada awal malam dan jangan pada akhir malam! Sesungguhnya orang yang bangun pada awal malam, niscaya ia tidur pada akhir malam. Dan orang yang bangun pada akhir malam, niscaya tiada bangun pada awal malam. Tetapi bangunlah tengah malam, sehingga engkau bersunyi-sunyi (berkhilwah) dengan Aku dan Aku berkhilwah dengan engkau dan sampaikanlah kepadaKu segala hajat engkau!” (1).
Ditanyakan kepada Rasulu’llah صلى الله عليه وسلم “Malam manakah yang lebih utama, Nabi صلى الله عليه وسلم menjawab: “Nishfu malam yang masih tinggal”. (2). Dan pada akhir malam, telah datang hadits, menerangkan: bergoncangnya ‘Arasy, berhembusnya angin dari sorga ‘Adan dan turunnya Yang Maha-perkasa (rahmatNya) kelangit dunia. Dan beberapa hadits, yang lain dari itu.
Susunan wirid ini, ialah: sesudah selesai dari do’a yang untuk bangun, lalu mengambil wudlu’, sebagaimana wudlu’ yang telah diterangkan dahulu, dengan sunatnya, adabnya dan do’a-do’anya. Kemudian menuju ketempat shalat.(mushalla) dan berdiri menghadap qiblat,dan membaca:
Dan dengan tengah malam itu, Allah Ta’ala bersumpah dengan firmanNya:
الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا
(Allaahu akbaru kabiraa. Wa’l-hamdu li’llaahi katsiiraa. Wa subhaa-na’llaahi bukratan wa ashiila) (1). Kemudian mengucapkan tasbih sepuluh kali, mengucapkan Al-Hamdu-li’llah sepuluh kali dan mengucapkan Laa ilaaha i’lla’liaah sepuluh kali. Dan hendaklah membaca:
الله أكبر ذو الملكوت والجبروت والكبرياء والعظمة والجلال والقدرة
(Allaahu akbaru dzu’l-malakuuti wa’l-jabaruut, wa’l-kibriaa-i waTadha-mah, wa’l-jalaali wa’l-qudrah). (2).
Hendaklah membaca kalimat-kalimat yang dibawah ini, karena dinukilkan daripada Rasulu’llahصلى الله عليه وسلم pada bangunnya bagi tahajjud: “Wahai Allah Tuhanku! Bagi Engkau segala jenis pujian. Engkau nur segala langit dan bumi. Bagi Engkau segala jenis pujian. Engkaulah ke-elokan langit dan bumi! Bagi Engkau segala jenis pujian. Engkaulah Tuhan segala langit dan bumi! Bagi Engkau segala jenis pujian, Engkaulah yang menegakkan segala langit dan bumi dan siapa yang didalamnya, serta siapa yang diatas-nya. Engkaulah yang benar dan dari Engkau kebenaran. Menjumpai Engkau itu benar, sorga itu benar, neraka itu benar, kebangkitan itu benar, para nabi itu benar dan Muhammadصلى الله عليه وسلم itu benar. Wahai Allah Tuhanku! KepadaMu aku tunduk, kepadaMu aku beriman, kepadaMu aku menyerahkan diri. KepadaMu aku kembali, dengan sebab AgamaMu aku berdebat dan kepadaMu aku meminta keputusan. Maka ampunilah dosaku, apa yang telah terdahulu aku kerjakan dan apa yang terkemudian, apa yang aku sembunyikan dan aku dhahir kan serta apa yang aku kerjakan yang berlebihTebihan. Engkaulah yang mendahulukan dan Engkaulah yang mengemudiankan. Tiada yang disembah, selain Engkau. Wahai Allah Tuhanku! Datangkanlah kepada jiwaku akan ke-taqwaan dan ber-sihkanlah akan jiwaku. Engkaulah sebaik-baik yang membersihkannya. Engkaulah yang mengatur dan yang menguasainya! Wahai Allah Tuhanku! Tunjukilah aku kepada perbuatan yang sebaik-baiknya! Tidaklah yang menunjukkan aku kepada perbuatan yang sebaik-baiknya itu, selain Engkau! Singkirkanlah daripadaku perbuatan yang keji! Tidaklah yang menyingkirkan daripadaku perbuatan yang keji itu, selain Engkau! Aku bermohon padaMu, selaku permohonan orang yang berputus asa, yang miskin. Aku berdo’a padaMu selaku do’a orang yang memerlukan, yang hina. Maka janganlah Engkau jadikan aku dengan berdo’a kepadaMu, wahai Tuhanku, tidak berbahagia! Adalah Engkau kepadaku, yang berbe-Ias kasihan, lagi penyayang, wahai Yang Sebaik-baik yang diminta dan yang semulia-mulia yang memberi!”
Berkata ‘A’isyah r.a. “Adalah Rasulu’llah صلى الله عليه وسلم. apabila bangun malam, lalu memulai shalatnya dengan membaca: اللهم رب جبريل وميكائيل وإسرافيل فاطر السموات والأرض عالم الغيب والشهادة أنت تحكم بين عبادك فيما كانوا فيه يختلفون اهدني لما اختلف فيه من الحق بإذنك إنك تهدي من تشاء إلى صراط مستقيما “Allaahu’mma ra’bba Jibrila wa Mikaila wa Israfila, faathira’ssamaawaati wa’l-ardli, aalima’I-ghai-bi wa’sy-syahaadah, anta tahkumu baina ‘ibaadika fiimaa kaanuu fiihi’ yakhta-li-fuun. Ihdinii lima’khtulifa fiihi mina’l-haqqi bi-idznika, innaka tahdii man tasyaa-u ilaa shiraathin mustaqiim”.
Artinya: “Wahai Allah Tuhanku,Yang Mempunyai Jibril, Mikail dan Israfil, yang menciptakan langit dan bumi, yang mengetahui yang ghaib dan yang tampak, Engkaulah yang menetapkan hukum diantara segala hambaMu, mengenai apa yang diperselisihkan mereka! Tunjukilah aku kebenaran dari apa yang diperselisihkan itu dengan keizinanMu! Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk akan siapa yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus” (1).
Kemudian memulai shalat, dengan mengerjakan shalat dua raka’at yang ringan. Kemudian bershalat dua raka’at – dua raka’at, sekedar yang mudah saja. Dan disudahi dengan witir, kalau belum bershalat witir. Disunatkan memisahkan diantara dua shalat, ketika memberi salam, dengan membaca seratus kali tasbih (Subhana’llah), untuk istirahat dan untuk bertambah rajinnya mengerjakan shalat.
Telah shah riwayat tentang shalat Rasulu’llah صلى الله عليه وسلم diwaktu malam:”Bahwa beliau mengerjakan shalat, mula-mula dua raka’at yang ringan, kemudian dua raka’at yang panjang, kemudian dua raka’at yang lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya. Kemudian, senantiasalah menten-dekkan dengan berangsur-angsur sampai kepada tigabelas raka’at”. (2). Ditanyakan ‘A’isyah r.a: “Adakah Rasulu’llahصلى الله عليه وسلم menjaharkan (membaca dengan suara keras) pada shalat malam atau mensirrkan (membaca dengan suara kecil, sampai didengar oleh diri sendiri saja)?” ‘A’isyah r.a. menjawab: “Kadang-kadang ia menjaharkan dan kadang-kadang ia mesirrkan”. (3).
Bersabda Nabiصلى الله عليه وسلم “Shalat malam itu dua raka’at – dua raka’at. Apabila engkau takut teledor Shubuh, maka berwitirlah dengan seraka’at saja”. Dan bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم”Shalat Maghrib itu mengwitirkan (membuatkan ganjil) shalat siang hari, maka witirkanlah (buatkanlah ganjil) akan shalat malam!”
Yang terbanyak dari apa yang shah riwayatnya daripada Rasulu’llah صلى الله عليه وسلم mengenai shalat malam, ialah tigabelas raka’at”. Dibaca pada raka’at-raka’at ini, dari wiridnya, dari Al-Quran atau dari surat-surat tertentu, apa yang ringan saja. Dan adalah dalam hukum wirid ini, dekat kepada perenam yang penghabisan daripada malam
Wirid kelima: ialah perenam yang penghabisan daripada malam, yaitu: waktu sahur. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan diujung malam (waktu sahur), mereka mendo’a memohonkan ampun” — S. Adz-Dzariyat, ayat 18. Ada yang mengatakan, maksud dari firman tadi, ialah mengerjakan shalat, karena dalam shalat itu ada istighfar (meminta ampun). Sahur: adalah waktu yang mendekati terbitnya fajar, dimana fajar itu, adalah waktu menyingkir malaikat malam dan datang malaikat siang. Wirid ini, telah disuruh oleh Salman akan saudaranya: Abu’d-Darda’ r.a pada malam ia mengunjunginya, menurut suatu ceritera yang panjang, dimana pada akhirnya dikatakan: ‘Tatkala datang malam, pergilah Abu’d-Darda’, bangun mengerjakan shalat. Lalu berkata Salman kepadanya: “Tidurlah!” Maka tidurlah Abu’d-Darda’. Kemudian pergi lagi untuk mengerjakan shalat, lalu berkata pula Salman: “Tidurlah!” Lalu Abu’d-Darda’ pergi tidur. Tatkala datang waktu Shubuh, maka berkata Salman kepada Abud-Darda’: “Bangunlah sekarang!” Lalu keduanya bangun pergi mengerjakan shalat. Kemudian, berkata Salman kepada Abu’d-Dar-da”: “Sesungguhnya, dirimu mempunyai hak atasmu, tamumu mempunyai hak atasmu dan keluargamu mempunyai hak atasmu! Maka serahkanlah untuk masing-masing yang berhak itu akan haknya!” Yang demikian, ialah, bahwa isteri Abu’d-Darda’ menerangkan kepada Salman, bahwa Abu’d-Darda’ tidak tidur malam. Kemudian, keduanya datang kepada Nabi صلى الله عليه وسلم menerangkan hal itu kepada Nabiصلى الله عليه وسلم Maka bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم “Benar Salman!”
Inilah wirid kelima! Pada wirid ini disunatkan sahur, apabila dikuatiri akan terbit fajar. Dan tugas pada kedua wirid ini, ialah: shalat. Apabila telah terbit fajar, maka selesailah wirid malam dan masuklah wirid siang. Lalu bangun dan mengerjakan shalat dua raka’at fajar. Dan inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan bertasbihlah engkau memujiNya dimalam hari dan diwaktu tenggelamnya bintang-bintang!” S Ath-Thur,ayat 49.
Kemudian dibaca: شهد الله أنه لا إله إلا هو والملائكة “Syahida’llaahu a’nnahuu laa ilaaha i’llaa hua wa’l-malaikah………..sampai akhir ayat 18 Surat Al imran Kemudian dibaca: “Aku mengaku dengan apa yang diakui oleh Allah bagi diriNya dan diakui oleh para malaikat dan orang-orang berilmu daripada makhlukNya. Aku petaruhkan pada Allah akan pengakuan(shahadat) ini. dan menjadi petaruh (wadi’ah) pada sisi Allah Ta’ala bagian aku bermohon daripadaNya penjagaan, sampai aku dimatikannya atas pengakuan itu. Wahai Allah Tuhanku! Kurangkanlah dengan sebab syahadat ini akan dosa daripadaku dan jadikanlah syahadat itu bagiku pada sisiMu simpanan dan peliharalah dia bagiku dan matikanlah aku diatas pengakuan itu, sampai aku menjumpaimu, dengan dia, tidak bertukar sedikitpun!”
Itulah susunan wirid-wirid bagi para hamba Allah!
Adalah mereka suka mengumpulkan bersama itu, pada tiap-tiap hari, antara empat perkara,puasa,sedekah walaupun sedikit,mengunjungi orang sakit dan menghadiri tempat kematian.
Dalam Hadith tersebut.حديث من جمع بين صوم وصدقة وعيادة مريض وشهود جنازة في يوم غفر له(Man jama’ a-bama haadzi-hil-arba’i fii yaumin ghufiralah). Artinya: “Barangsiapa mengumpulkan diantara empat perkara tersebut pada suatu hari, niscaya diampunkan dosanya” (1). Pada suatu riwayat: “niscaya ia masuk sorga”.
Kalau dilaksanakan sebahagian dari itu dan ia lemah dari yang lain, niscaya baginya pahala seluruhnya, menurut niatnya.
Adalah mereka tidak suka berlalu hari, dimana mereka tiada bersedekah padanya sesuatu sedekah, walaupun dengan sebiji tamar atau bawang atau pecahan roti, karena Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: “Manusia itu dalam naungan sedekahnya, sehingga ditentukan nasibnya diantara manusia”. Dan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم “Takutlah daripada api neraka, walaupun dengan sekeping tamar!
Diserahkan oleh ‘A’isyah r.a. kepada orang yang meminta kepadanya, sebiji ‘inab (عنبةanggur kering).Orang itu lalu mengambilnya dan pandang-memandanglah orang-orang yang berada disisi ‘A’isyah r.a. satu sama lain. Maka bertanya ‘A’isyah r.a.: “Apa yang tuan-tuan pikir? Sesungguhnya pada sebutir ‘inab itu berat pahala yang banyak”. Mereka tidak suka menolak orang yang meminta, karena tidak menolak itu, ackilah termasuk akhlaq Rasulu’llah صلى الله عليه وسلم : “Tiadalah seseorang meminta sesuatu pada Nabi صلى الله عليه وسلم lalu beliau mengatakan: “Tidak ada!” Tetapi kalau beliau tidak sanggup memberikan sesuatu, maka beliau berdiam diri”. (2).
Pada suatu hadits tersebut: “Jadilah anak Adam (manusia) dan diatas tiap-tiap sendi dari tubuhnya itu sedekah. Dan pada tubuhnya terdapat tigaratus enampuluh sendi. Kamu suruh kepada yang baik itu sedekah, kamu larang dari yang munkar itu sedekah, tanggunganmu kepada orang yang lemah itu sedekah, tunjukanmu kepada sesuatu jalan itu sedekah dan kamu buang akan sesuatu yang menyakiti itu sedekah. Sehingga mengingatkan kepada tasbih dan tahlil juga sedekah”. Kemudian Nabiصلى الله عليه وسلم menyambung “Dua raka’at dluha itu, datang kepada yang demikian itu semuanya; atau ia mengumpulkan bagimu yang demikian itu semuanya”. (3).
PENJELASAN: berlainan wirid dengan berlainan keadaan.
Ketahuilah kiranya. bahwa orang yang berkehendak kepada perusahaan akhirat dan yang berjalan kepada jalan akhirat, maka ia tidak terlepas dari enam keadaan. Yaitu: adakalanya ‘abid (banyak ibadahnya), adakalanya ‘alim (banyak ilmunya), adakalanya muta’allim (masih belajar), adakalanya wali (yang diserahi kekuasaaan), adakalanya p e k e r j a dan adakalanya bertauhid, tenggelam dengan Yang Maha Esa, Tempat meminta, tanpa lainNya.
Yang Pertama: ‘abid, yaitu: yang menjuruskan dirinya kepada ibadah, tak ada sekali-kali kerjanya yang Iain. Kalau ia meninggalkan ibadah, niscaya duduklah ia sia-sia. Maka susunan wiridnya, ialah apa yang kami sebutkan dahulu.
Ya, tak jauh selisih tugasnya, dengan menghabiskan kebanyakan waktunya, adakalanya dengan shalat atau dengan pembacaan Al-Qur’an atau dengan tasbih.
Sesungguhnya, ada diantara shahabat Nabi صلى الله عليه وسلم yang wiridnya dalam satu hari, duabelas ribu kali tasbih. Ada yang wiridnya tigapuluh ribu kali. Ada yang wiridnya tigaratus sampai enamratus raka’at dan sampai seribu raka’at shalat. Dan yang paling sedikit, dinukilkan mengenai wirid mereka dari shalat itu, ialah seratus raka’at sehari-semalam. Dan sebahagian mereka kebanyakan wiridnya, adalah Al-Qur’an. Dan salah seorang dari mereka, mengkhatamkan Al-Qur’an dalam sehari sekali. Dan diriwayatkan, ada yang dua kali dari sebahagian shahabat-shahabat itu. Sebahagian dari mereka, ada yang menghabiskan sehari atau semalam untuk bertafakkur, mengenai suatu ayat dari al-Quran yang diulang-ulanginya.
Adalah Karaz bin Wabrah bermukim di Makkah. Ia melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah, tiap-tiap hari tujuhpuluh kali tujuh kali (karena tujuh kali adalah sekali thawaf namanya). Dan pada tiap-tiap malam tujuhpuluh kali tujuh kali. Dan bersama dengan itu, ia mengkhatamkan Al-Qur’an sehari semalam dua kali.
Maka dihitung yang demikian itu, adalah sepuluh farsakh jauhnya. (1). Dan bersama dengan tiap-tiap tujuh kali keliling Ka’bah itu, dua raka’at shalat sunat. Maka berjumlah semuanya, dua ratus delapanpuluh raka’at, dua kali khatam Al-Qur’an dan sepuluh farsakh tadi. Kalau anda bertanya: “Manakah yang lebih utama, untuk dipergunakan waktu terbanyak dari wirid-wirid itu?”
Maka ketahuilah, bahwa membaca Al-Qur’an dalam shalat, yang disertai pemahaman, adalah menghimpunkan semuanya. Tetapi kadang-kadang sulit melaksanakannya terus-menerus.
Dari itu, keutamaannya berbeda dengan berbeda keadaannya seseorang.
Dan tujuan dari wirid-wiiid itu, ialah membersihkan hati, mensucikan dan menghiaskannya dengan dzikir kepada Allah Ta’ala, serta menjinakkan hati kepadaNya.
Maka hendaklah diperhatikan oleh murid itu, akan hatinya. Apa yang dilihatnya lebih membekas pada hatinya, maka hendaklah rajin ia mengerjakannya. Apabila ia telah merasa jemu daripadanya, maka hendaklah ia berpindah kepada yang lam.
Dari itu, kami memandang lebih benar, bagi kebanyakan orang, membagi segala amalan kebajikan yang bermacam-macam itu, kepada beberapa waktu, sebagaimana telah diterangkan dahulu. Dan berpindah dari satu macam kesatu macam yang lain. Karena jemu itu adalah perkara biasa menurut sifat manusia.
Dalam pada itu, keadaan diri seseorang itu berbeda pula. Tetapi apabila telah dipahami akan pemahaman dan rahasia daripada wirid-wirid itu, maka hendaklah diikuti akan pengertiannya. Kalau mendengar tasbih umpamanya dan merasa berkesan dalam lubuk hatinya, maka hendaklah rajin mengulang-ulanginya selama memperoleh kesan dari tasbih itu. Diriwayatkan daripada Ibrahim bin Adham dan Ibrahim bin Adham mengambil dari sebahagian a b d a l, bahwa sebahagian abdal itu, bangun pada suatu malam, pergi mengerjakan shalat ditepi pantai. Lalu mendengar suara keras, membaca tasbih dan tiada kelihatan seorangpun dari manusia. Lalu bertanya abdal tadi: “Siapa engkau, aku mendengar suara-mu dan tiada melihat bentukmu?”
Maka suara itu menjawab: “Aku adalah malaikat, yang diserahi laut ini. Aku bertasbih akan Allah Ta’ala dengan tasbih tadi, semenjak aku dijadikan”.
Lalu aku bertanya (kata abdai tadi): “Siapakah namama?” Malaikat itu menjawab: “Muhalhayail!”
Aku bertanya lagi: “Apakah pahalanya bagi orang yang membaca tasbih itu?”
Malaikat itu menjawab: “Barangsiapa membacanya seratus kali, niscaya ia tidak mati, sebelum melihat tempat duduknya dalam sorga atau diperlihat-kan sorga itu kepadanya”.
Tasbih itu yaitu membaca:سبحان الله العلي الديان سبحان الله الشديد الأركان سبحان من يذهب بالليل ويأتي بالنهار سبحان من لا يشغله شأن عن شأن سبحان الله الحنان المنان سبحان الله المسبح في كل مكان(Subhaana’llaahi’l-‘aliyyi’ddayyaan,subhaa-na’llaahi’ sy sya diidi’larkaan, subhaanamanyadzhabu bi’l-lail. wa ya’tii bi’nna-haar, subhaana man laa yusy-ghihihuu sya’nun ‘an sya’n, subhaana’llahi’lha’n-naani-‘lmannaan,subhaana’llaahi’lmusa’bbahi fi ku’lli makaan).Artinya: “Mahasuci Allah yang mahatinggi, lagi yang mahaperkasa, mahasuci Allah, yang maha kokoh sendi-sendi ciptaanNya, mahasuci yang pergi dengan malam dan datang dengan siang, mahasuci yang tidak disibukkan oleh suatu keadaan dari keadaan. Mahasuci Allah, yang mahapenyantun, yang melimpah-limpah ni’matNya. Mahasuci Allah yang dipujikan diseluruh tempat”.
Maka tasbih ini dan yang seumpama dengan tasbih ini, apabila didengar oleh seorang murid serta memperoleh kesan dalam jiwanya, maka hendaklah dibiasakan. Mana saja, ia memperoleh hati padanya dan terbuka baginya kebajikan, maka hendaklah dilaksanakan dengan rajin. Kedua: orang ‘alim yang bermanfa’at ilmunya bagi umat manusia, dengan memberi fatwa atau mengajar atau mengarang. Maka susunan wiridnya berlainan daripada wirid orang ‘abid.
Orang ‘alim itu memerlukan kepada membaca kitab-kitab, kepada mengarang dan kepada memberi faedah kepada orang lain. Dan sudah pasti ia memerlukan kepada waktu. Kalau mungkin, ia menghabiskan segala waktunya untuk itu, maka itu, adalah yang lebih utama dari apa yang dikerja-kannya, sesudah segala shalat fardlu dan sunat-sunat rawatibnya (shalat-shalat sunat, sebelum atau sesudah shalat fardlu).
Dibuktikan kepada yang demikian itu, oleh segala apa yang telah kami sebutkan dahulu mengenai keutamaan mengajar dan belajar pada Kitab ‘Ilmu.
Bagimanakah tidak demikian? Dalam ilmu itu, ada kerajinan berdzikir kepada Allah Ta’ala. Dan perhatikan apa yang difirmankan oleh Allah Ta’ala dan yang disabdakan oleh Rasulu’llahصلى الله عليه وسلم Dan ilmu itu kemanfa’atan bagi manusia dan menunjukkan mereka kepada jalan akhirat. Kadang-kadang suatu masalah yang dipelajari oleh seorang .pelajar, dapat memperbaiki ibadah seumur hidupnya. Kalau tidak dipelajarinya, niscaya usahanya itu menjadi sia-sia belaka.
Kami maksudkan dengan ilmu yang mendahului ibadah, ialah ilmu yang menyukakan manusia kepada akhirat dan menzuhudkannya dari dunia. Atau ilmu yang menolong mereka kepada menjalani jalan akhirat. apabila dipelajarinya dengan maksud memperoleh pertolongan dengan ilmu itu kepada jalan akhirat. Bukan ilmu-tlmu yang menambah kesukaan kepada harta, kemegahan dan kesukaan orang banyak.
Yang lebih utama dengan ilmu itu, ialah membagi-bagikan juga waktunya. Kalau dihabiskannya segala waktunya dalam menyusun ilmu, yang tidak disanggupi oleh tabi’at manusia, maka seyogialah ia menentukan waktu, sesudah Shubuh sampai kepada terbit matahari, dengan membaca dzikir-dzikir dan wirid-wirid, sebagaimana telah kami sebutkan dahulu pada “Wirid Pertama”. Dan sesudah terbit matahari, sampai kepada waktu dluha siang hari, adalah untuk memanfa’atkan ilmu itu kepada orang banyak dan mengajar, kalau ada orang yang ingin memperoleh faedah dari ilmunya itu untuk akhirat. Kalau tidak ada, maka diserahkan-nya waktunya itu kepada berfikir.
Dan bertafakkur mengenai apa yang sulit baginya dari ilmu-ilmu agama. Karena kebersihan hati sesudah selesai daripada dzikir dan sebelum sibuk dengan kepentingan duniawi, adalah amat menolong kepada pemecahan segala kesulitan. Dan dari dluha siang hari sampai kepada ‘Ashar, untuk mengarang dan membaca, dimana tidak ditinggalkannya, kecuali pada waktu makan, bersuci, mengerjakan shalat fardlu dan tidur siang sekejap waktu, kalau siang itu panjang (1).
Dan dari ‘Ashar, sampai kepada kuning cahaya matahari sore menggunakan waktunya untuk mendengar apa yang dibacakan dihadapannya. mengenai tafsir atau hadits atau ilmu Iain yang bermanfa’at. Dan dari kuning cahaya matahari sore sampai kepada terbenam matahari. dengan berdzikir, beristighfar dan bertasbih. Maka adalah wiridnya yang pertama, sebelum terbit matahari, merupakan amalan lisan. Wiridnya yang kedua, merupakan amalan hati dengan berfikir, sampai kepada waktu dluha. Wiridnya yang ketiga sampai kepada ‘Ashar, merupakan amalan yang ke-empat, sesudah ‘.Ashar, merupakan amalan mendengar, supaya beristirahatlah mata dan tangan. Membaca dan menulis sesudah ‘Ashar, kadang-kadang mendatangkan melarat kepada mata. Dan ketika menguning cahaya matahari, ia kembali kepada berdzikir dengan lisan. Maka tidaklah kosong suatu bahagian pun dari siang hari, daripada amalan dengan anggauta badan, ierta kehadiran hati pada semuanya.
Adapun malam hari, maka pembahagian malam yang terbaik, ialah pembahagian malam dari Imam Asy-Syafi’i r.a. Karena beliau membagi malam kepada tiga bagian: sepertiga malam untuk membaca dan menyusun ilmu, yaitu: yang pertama. Sepertiga malam untuk shalat, yaitu: yang ditengah dan sepertiga lagi untuk tidur, yaitu: yang penghabisan. Ini mudah dilaksanakan pada malam-malam musim dingin. Dan pada musim panas, kadang-kadang tidak memungkinkan demikian, kecuali ia membanyakkan tidur pada siang hari: (2). Tiga inilah yang kami sukai dari susunan wirid-wirid ilmu. Ketiga: pelajar. Bekerja menuntut ilmu, adalah lebih utama daripada berdzikir dan mengerjakan shalat-shalat sunat.
Caranya adalah menurut cara orang ‘alim menyusun wiridnya. Tetapi pelajar itu bekerja memperolehkan faedah, sedang orang ‘alim itu bekerja memberikan faedah. Pelajar itu bekerja membuat catatan dan menghapus kan yang salah, sedang orang ‘alim itu bekerja menyusun karangan. Pelajar itu menyusun segala waktunya, sebagaimana telah kami sebutkan dahulu.
Segala apa yang telah kami sebutkan tentang kelebihan belajar dan dalam Kitab Ilmu, menunjukkan bahwa yang demikian itu, adalah le^ utama. Bahkan walaupun ia bukan pelajar, dalam pengertian ia mencata dan menghasilkan untuk menjadi orang ‘alim. Tetapi dia adalah orang awam. Maka kunjungannya kemajelis-majelis dzikir, pengajaran dan ilmu pengetahuan, adalah lebih utama daripada mengerjakan wirid-wirid yang telah kami sebutkan dahulu sesudah Shubuh, sesudah terbit matahari dan pada waktu-waktu lainnya.
Pada hadits Abi Dzar r.a. tersebut: ‘Bahwa mengunjungi majelis dzikir, adalah lebih utama daripada shalat seribu raka’at, daripada berkunjung kepada seribu tempat kematian dan berziarah kepada seribu orang sakit”. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم .: “Apabila kamu melihat kebun sorga, maka bermain-mainlah didalamnya!”
Lalu orang menanyakan: “Wahai Rasulu’llah! Manakah kebun sorga itu?” Nabi صلى الله عليه وسلم menjawab: “falah majelis dzikir”.
Berkata Ka’b Al-Ahbar r.a.: “Jikalau pahala majelis alim ulama (tempat alim ulama membahas ilmu pengetauan), terang bagi manusia niscaya mereka berperang untuk memperolehnya. Sehingga orang-orang yang mempunyai daerah kekuasaan, akan meninggalkan daerah kekuasaannya dan orang-orang yang mempunyai kedai (tempat jualan), akan meninggalkan kedainya”.
Berkata ‘Umar bin Al-Khath-thab r.a.: “Sesungguhnya orang yang keluar dari rumahnya dengan mempunyai dosa seperti bukit Tihamah, maka apabila ia mendengar orang alim, lalu ia takut, bertobat dari segala dosanya dan ia kembali kerumahnya, tanpa berdosa lagi.” Dari itu, janganlah kamu bercerai dengan majelis alim ulama. Karena sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidak menjadikan diatas permukaan bumi, tanah yang lebih mulia dari majelis alim-ulama”. Berkata seorang laki-laki kepada Al-Hasan r.a.: “Aku mengadu kepadamu akan kesat hatiku”.
Al-Hasan menjawab: “Dekatkan hatimu itu kepada majelis dzikir!” Bermimpi ‘Ammar Az-Zahidi, bertemu dengan Miskinah Ath-Tha-fawiyah dan wanita ini termasuk seorang wanita yang rajin mengunjungi majelis dzikir. Berkata ‘Ammar kepadanya: “Selamat berjumpa, wahai Miskinah!” (1).
Maka sahut Miskinah: “Mudah-mudahan kemiskinan itu telah hilang dan datanglah kekayaan!”
Bertanya ‘Ammar: “Mengapa begitu?”
Miskinah Ath-Thafawiyah menjawab: “Apakah anda bertanya tentang orang yang dibolehkan baginya sorga dengan segala kenikmatannya?” Sahut ‘Ammar: “Dengan apakah yang demikian itu?” Menjawab Miskinah Ath-Thafawiyah: “Dengan menghadiri majelis dzikir”
Kesimpulannya: apa yang terbuka dari hati, dari ikatan mencintai dunia,dengan perkataan orang yang memberi pelajaran, yang bagus kata-kata dan bersih perjalanan hidupnya hidupnya, adalah lebih mulia dan bermanfaat dari solat yang banyak raka’atnya, serta hati tersangkut kepada mencintai dunia.
Keempat: pekerja yang memerlukan kepada usaha untuk keluarganya Maka tidaklah ia menyia-nyiakan keluarganya dan menghabiskan waktu dalam beribadah. Tetapi wiridnya pada waktu berusaha itu ialah datang kekedai dan meneruskan usaha.
Dalam pada itu, seyogialah tidak melupakan mengingati Allah Ta’ala dalam berusaha itu. Bahkan rajin bertasbih, berdzikir dan membaca Al-Qur’an. Karena yang demikian itu, mungkin dikumpulkan kepada pekerjaan. Dan sesungguhnya mudah dilakukan shalat serta bekerja. Kecuali dia itu pemimpin, maka tidak sukar melakukan wirid shalat serta pekerjaannya.
Kemudian, manakala telah selesai daripada fardlu kifayahnya, maka seyogialah ia kembali kepada susunan wirid-wiridnya. Dan kalau terus menerus ia berusaha dan bersedekah dengan apa yang lebih daripada keperluannya, maka itu adalah lebih utama daripada wirid-wirid yang lain yang telah kami sebutkan dahulu. Karena ibadah yang melampaui faedahnya kepada orang lain, adalah lebih bermanfa’at daripada ibadah yang terbatas manfa’atnya kepada yang beribadah itu sendiri. Sedekah dan usaha berdasarkan niat tersebut, adalah ibadahnya, yang dengan sendirinya mendekatkan dia kepada Allah Ta’ala. Kemudian menghasil-kan faedah kepada orang lain, Dan menarik kepadanya keberkatan do’a orang-orang muslimin dan berganda-ganda pahalanya. Kelima: wali (yang diserahi kekuasaan): seperti imam (kepala pemerintahan), qadli (hakim) dan yang menerima tugas untuk memperhatikan kepentingan kaum muslimin.
Maka tegak melaksanakan keperluan dan maksud kaum muslimin, ber-sesuaian dengan syari’at dan dengan tujuan ikhlas, adalah lebih utama daripada wirid-wirid yang tersebut itu. Maka tugasnya menyelesaikan kepentingan orang banyak pada siang hari serta menyingkatkan ibadah kepada yang fardlu saja. Dan menegakkan wirid-wirid yang tersebut pada malam hari, seperti yang diperbuat oleh Umar r.a., yang berkata: “Apalah tidur itu bagiku! Kalau aku tidur siang , niscaya aku menyianyiakan kaum muslimin. Dan kalau aku tidur malam, niscaya aku menyia-nyiakan diriku sendiri”.
Sesungguhnya telah anda pahami dengan apa yang telah kami terangkan itu, bahwa didahulukan dua perkara atas ibadah badaniyah: pertama ilmu dan kedua kasih sayang kepada kaum muslimin. Karena masing-masing dari ilmu dan berbuat baik, adalah amal pada dasarnya dan ibadah, yang melebihi daripada ibadah-ibadah yang lain, yang melampaui faedahnya dan berkembang kegunaannya.
Maka dari itu, keduanya (ilmu dan berbuat baik), didahulukan daripada yang lain.
Ke-enam: orang yang bertauhid, yang tenggelam dengan Yang Maha Esa, tempat meminta, yang menjadi cita-citanya, hanya: SATU. Dia tidak mencintai selain Allah Ta’ala. Tidak takut, selain kepadaNya. Tidak mengharapkan rezeki dari yang lain. Tidak memandang sesuatu, melainkan ia melihat Allah Ta’ala padanya.
Orang yang meninggi kedudukannya kepada derajat ini, tidak memerlukan kepada bermacam-macamnya wirid dan yang berlain-lainan. Bahkan wiridnya, sesudah shalat fardlu, adalah: satu, yaitu: menghadirkan hati bersama Allah Ta’ala dalam segala hal. Maka tidak mengguris dihati-nya sesuatu, tidak mengetok telinganya oleh sesuatu ketokan dan tidak melintas dihadapan matanya sesuatu lintasan, kecuali ada padanya ibarat, pemikiran dan tambahan. Maka tidaklah yang menggerakkan bagi mereka dan yang menetapkan, melainkan Allah Ta’ala jua.
Mereka ini, segala hal-ikhwalnya, pantas menjadi sebab untuk pertambahan bagi mereka. Maka tidaklah berbeda padanya, antara satu ibadah dengan ibadah lainnya. Merekalah orang-orang yang lari kepada Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana firmanNya:
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ
(La’allakum tadza’kkarruun. Fa firruu iallaah).
Artinya: “Mudah-mudahan kamu ingat. Sebab itu, segeralah pergi kepada Allah!” S. Adz-Dzariyat, ayat 49-50.
Dan terlaksanalah pada mereka firman Allah Ta’ala: “Dan kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah, selain dari Allah. Carilah tempat perlindungan kedalam gua, nanti Tuhan kamu akan menyebarkan kurniaNya kepada kamu”. — S. Al-Kahf, ayat 16. Dan kepada yang tersebut itu, ditunjukkan dengan firmanNya Ta’ala: “Sesungguhnya aku hendak pergi kepada Tuhanku. Dia nanti akan menunjukkan jalan kepadaku”. — S. Ash-Shaffat, ayat 99. Inilah penghabisan derajat orang-orang shiddiq. Dan tidak sampai kepadanya, melainkan sesudah menyusun wirid-wirid dan terus-menerus mengerjakannya dalam waktu yang panjang. Seyogialah tiada tertipu orang yang menghendaki jalan Allah, dengan apa yang didengarnya dari yang demikian. Lalu ia mengajak yang demikian itu untuk dirinya. Dan lesu daripada mengerjakan tugas-tugas ibadahnya.
Maka yang demikian itu tandanya, ialah tidak masuk kedalam jiwanya keragu-raguan. Tidak terguris dihatinya kema’siatan. Tidak mengejutkannya oleh ancaman-ancaman huruhara. Dan tidak membimbangkan hatinya oleh tugas-tugas besar.
Kedudukan tersebut, kiranya dianugerahkan kepada tiap-tiap orang. Maka tertentulah diatas keseluruhannya, penyusunan wirid-wirid, sebagaimana telah kami sebutkan dahulu. Dan semua apa yang telah kami sebutkan itu, adalah jalan-jalan kepada Allah Ta’ala. Berfirman Allah Ta’ala:
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَى سَبِيلا
(Oul kullun ya’malu ‘alaa syaakilatihi farabbukum a’lamu biman huwa ahdaa sabiilaa).
Artinya: “Katakan: “Masing-masing orang — bekerja menurut ukuran keadaannya. Dan Tuhan kamu lebih mengetahui, siapa yang paling betul jalannya.” — S. Al-Isra’, ayat 84.
Semuanya mendapat petunjuk. Dan sebahagian mereka adalah lebih mendapat petunjuk dari sebahagian yang lain. Pada hadits, tersebut: “Iman itu tigaratus tigapuluh tiga jalan. Barangsiapa menjumpai Allah Ta’ala dengan pengakuarr (syahadat) diatas suatu jalan daripadanya, niscaya ia masuk sorga”. (1).
Berkata sebahagian ulama: “Iman itu tigaratus tigabelas bentuk pekerti, sebanyak bilangan rasul. Tiap-tiap orang mu’min itu, adalah diatas suatu bentuk pekerti daripadanya. Maka dia menjalani jalan kepada Allah”. Jadi manusia itu, walaupun berlainan jalannya dalam melakukan ibadah, tetapi semuanya adalah benar — “Orang-orang yang mereka seru itu mencari jalan kepada Tuhan, mana yang paling dekat”. — S. Al-Isra’ ayat 57.
Sesungguhnya. mereka berlebih kurang, tentang derajat dekat itu pada pokoknya. Dan yang lebih dekat kepada Allah Ta’ala. ialah yang lebih mengenalNya. Dan yang lebih mengenai kepadaNya itu. pasti ada. Dan adalah ia lebih memperhambakan diri (lebih banyak melakukan ibadah) kepadaNya. Barangsiapa mengenalNya, niscaya tidak akan menyembah yang lain.
Pokoknya, tentang wirid terhadap setiap jenis manusia itu, ialah: terus-menerus (al-mudawamah). Yang dimaksudkan daripadanya, ialah mengobah sifat-sifat batin. Dan secara satu-satu amal perbuatan itu sedikit bekasnya, bahkan tiada terasa bekasnya itu. Dan hanya bekas itu, baru tersusun diatas kumpulan (sesudah berkali-kali dikerjakan). Maka apabila satu kali amal perbuatan tidak meninggalkan bekas yang Tnenampak dan tidak diiringi dengan amal perbuatan kali kedua dan ketiga dalam waktu dekat, niscaya terpupuslah bekasnya amal perbuatan yang pertama itu. Contohnya, adalah seperti seorang ahli fiqh, ingin menjadi seorang ahli yang berjiwa fiqh, maka dia tidak akan menjadi seorang yang berjiwa fiqh
itu, kecuali dengan banyak kali mengulang-ulanginya. Kalau ia terlalu banyak mengulang-ulanginya pada suatu malam saja, kemudian meninggalkannya sebulan atau seminggu, kemudian mengulanginya lagi dan bersangatan pada satu malam saja niscaya .itu tidak akan membekas padanya.
Tetapi jikalau dibagikannya jumlah waktu tersebut, kepada beberapa malam yang sambung menyambung, niscaya membekaslah kepadanya. Dan karena rahasia inilah, bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم
أحب الأعمال إلى الله أدومها وإن قل
(Ahabbul-a’maali ilallaahi adwamuhaa wa in qalla).
Artinya: “Amalan yang paling disukai Allah, ialah yang terus menerus walaupun sedikit”. (1).
Ditanyakan ‘A’isyah r.a. tentang amal perbuatan Rasulu’llah صلى الله عليه وسلم. lalu beliau menjawab:”Adalah amal perbuatannya terus menerus berkekalan. Dan adalah dia apabila mengerjakan sesuatu perbuatan maka dilaksanakannya secara tetap”. (2).
Dan karena itulah bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم “Barangsiapa membiasakan mengerjakan sesuatu ibadah kepada Allah, lalu meninggalkannya karena malas, niscaya dia dikutuk oleh Allah”.
Dan inilah sebabnya maka Nabi صلى الله عليه وسلم mengerjakan shalat sesudah ‘Ashar karena menggantikan yang tertinggal dua raka’at, lantaran terganggu oleh utusan yang datang padanya. Kemudian sesudah itu, senantiasalah dikerjakan oleh Nabi yang dua raka’at itu sesudah ‘Ashar. Tetapi dirumahnya, tidak dimasjid, supaya jangan dituruti oleh orang lain — demikianlah diriwayatkan oleh ‘A’isyah r.a. dari Ummi Salmah r.a. Kalau anda bertanya: “Rolehkah itu dituruti oleh orang lain, sedang itu adalah waktu kirahiyah (waktu makruh shalat?)”.
Ketahuilah kiranya bahwa tiga arti yang telah kami sebutkan dahulu tentang makruhnya: menjaga daripada penyerupaan dengan penyembah matahari atau sujud waktu lahir tanduk setan atau beristirahat daripada ibadah, karena menjaga diri daripada kemalasan, tidaklah terjadi pada diri Nabi صلى الله عليه وسلم Maka tidaklah dibandingkan orang lain dengan Nabi صلى الله عليه وسلم dalam hal demikian. Disaksikan untuk itu oleh perbuatan Nabi dirumahnya, sehingga dia tidak diikuti oleh orang Iain.